Dedicated to Eko Hermawan (semuasayangeko)
Pendahuluan
Perkembangan dunia multimedia dan desain grafis telah menyumbangkan sejumlah perubahan besar pada bentuk wajah peradaban itu sendiri. Desain grafis yang dipengaruhi oleh peradaban, dan peradaban yang dipengaruhi desain grafis adalah dua hal yang terjadi secara bersamaan. Seiring dengan perkembangan teknologi multimedia, warna-warni desain grafis pun menemukan makna tantangannya yang berarti saat ini. Seperti kebanyakan produk fine art lainnya, visual literasi yang bergenre desain grafis acapkali mampu termanfaatkan secara utuh oleh beberapa kalangan yang memang sangat membutuhkannya. Lebih jauh lagi, pemanfaatan hasil karya desain grafis nyata-nyata telah mampu memberikan keuntungan finansial yang tidak sedikit bagi para penggiatnya. Belum lagi jika terorganisasikan dengan baik, para desainer grafis bahkan mampu menjadi sendi-sendi industri kreatif yang menyokong sistem perekonomian sebuah negara. Desainer grafis lahir, tumbuh dan berkembang untuk menjawab tantangan sosial dan bisnis yang dari hari ke hari terus bergerak tak juga mau berhenti. Dengan semakin terbuka lebarnya peluang pada ruang-ruang kehidupan sosial masyarakat dunia, seorang desainer grafis dapat mengeruk keuntungan yang luar biasa atas keahliannya yang mumpuni.
Sekarang terdapat sebuah realisasi bahwa desain grafis bukanlah sebagai sesuatu yang berlangsung sebentar saja sebagaimana halnya pada kertas yang tercetak. Sejumlah iklan, poster-poster, pengemasan, logo-logo, buku-buku, dan majalah-majalah bertahan sebagai papan arah artistik, komersial, dan pencapaian teknologi dan lebih membicarakan tentang jaman tertentu atau lingkungan pergaulan daripada fine art. (Heller, “Design Literacy: Understanding Graphic Design”)
Setiap disiplin ilmu di mana seni dan bisnis bertemu mempunyai potensi untuk menjadi pembawa yang efektif atas pesan kultural –contohnya, ‘industri kreatif’, seperti grafis, desain produk dan pengemasan, periklanan, video-video musik, desain web, produksi televisi dan radio, penerbitan majalah dan buku- dan meskipun tujuannya bukanlah kultur yang tinggi tetapi aplikasi atas keahlian kreatif mengarah pada sebuah ujung komersial, mereka sama efektifnya ketika memperdalam dan memartabatkan sebuah cetakan brand (cap/merk) dari sebuah negeri. Kenyataan bahwa Britain (negeri Inggris), sebagai contoh, diketahui adakalanya dan secara jenaka memproduksi komersial TV yang indah, menyatakan dengan hasil tentang sebuah kualitas dan kreatifitas dari suatu lingkungan warga negara, dan membantu dengan caranya sendiri untuk membesarkan hati dalam batin pekerjaan, investasi dan bahkan mungkin turisme. Cara sebuah brand terjual dapat menjadi sama pentingnya dengan brand itu sendiri dalam mengkomunikasikan sesuatu dari sebuah negeri yang memproduksinya. (Anholt, “Brand New Justice”)
Latar Belakang
Segala usaha untuk menghadapi tantangan pasar global yang sudah berada di depan mata adalah sesuatu yang tak dapat terelakkan. Mulai dari regulasi pemerintah, strategi perusahaan, rancangan organisasional, hingga keterbukaan pemikiran dari masing-masing individu yang terlibat di dalam denyut perekonomian, sudah semestinya menjadi perhatian utama semua kalangan. Setiap kerangka penyusun stabilitas ekonomi sebuah bangsa dituntut untuk mampu menghadapi pasar global tanpa terlindas oleh kerugian atau bahkan kebangkrutan. Inovasi senantiasa diperlukan pada saat perubahan lingkungan menampakkan dirinya. Segala macam kesiapan dan persiapan sudah harus diberlakukan dan dijalankan oleh siapapun yang tengah berada dalam sebuah kancah pasar global. Meskipun beberapa kalangan menyatakan sudah terlambat.
Industri kreatif seperti desain grafis merupakan sesuatu yang akan mampu menjawab tantangan global tersebut. Desain grafis selalu hadir di dalam bentuk peradaban yang bagaimanapun, bahkan desain grafis pada salah satu negara maju telah mampu secara sengaja berpartisipasi dalam mensukseskan (atau menggagalkan) pencapaian politik dalam bingkai demokrasinya. The poor design of this ballot is therefore likely responsible for the failure of the United States… Meanwhile, good design can encourage youth to seize the cynical 54 percent u.s. election turnout rate as an opportunity. Desain yang miskin (buruk) pada surat suara tersebut adalah kemudian yang mungkin bertanggungjawab untuk kegagalan Amerika Serikat… Sementara, desain yang baik (bagus) dapat mendorong kaum muda untuk meraih angka kehadiran pemilu A.S. 54 persen yang bersifat sinis sebagai sebuah kesempatan. (Berman, “Do Good Design”)
Pemanfaatan desain grafis oleh institusi pemerintahan, perusahaan swasta, media massa, teknologi internet (web) atau bahkan oleh perorangan tidak lagi dipandang sebagai suatu hasil karya murah. Hasil karya desain grafis yang bersifat estetik dan mampu menjual, dapat diperhitungkan sebagai sebuah pekerjaan yang mampu menghasilkan keuntungan ekonomi. Dengan semakin banyaknya perguruan tinggi yang membuka jurusan desain grafis di Indonesia, peluang memperoleh kemampuan yang memadai tentang desain grafis semakin terbuka. Seiring dengan keadaan tersebut, karya-karya desain grafis pun semakin hari semakin memperbaiki kehadirannya dalam kehidupan sosial dan bisnis masyarakat agar terjadi persaingan yang sehat di antara para desainer grafis itu sendiri.
Kebutuhan pasar akan desain grafis merupakan sebuah kesempatan besar bagi seseorang agar mampu terjun dan berkecimpung di dalamnya, sebab desain grafis kadang-kadang (walaupun memang tidak selalu) merupakan bentuk fine art yang universal tanpa terlalu berkeberatan oleh aspek-aspek kultural dan demografi. Hasil-hasil karya desain grafis buatan orang-orang Indonesia beberapa di antaranya telah dipakai oleh perusahaan-perusahaan yang bertempat di luar wilayah republik ini. Persaingan dengan desainer-desainer grafis sesama Asia secara kentara ditemui pada sayembara-sayembara desain logo di dunia maya (namun dengan imbalan berupa hadiah yang nyata tentunya). Hadiah-hadiah sayembara berupa uang dalam bentuk dollar Amerika menjadi ambisi dan pencapaian tersendiri yang mengundang decak kagum bagi para desainer grafis khususnya desain logo.
Maksud dan Tujuan
Meskipun desain grafis dapat didefinisikan sebagai banyaknya kekritisan atas bentuk dan gaya yang berubah-ubah menurut diktat pasar, sebuah pemahaman atas suatu kerja tunggal atau genre-genre kerja yang dianalisis melalui kriteria subyek dan obyektif dapat menjadi bermanfaat dalam menentukan bagaimana desainer secara individu telah dapat membuat desain grafis berfungsi sepanjang waktu… Sebuah karya desain grafis setidaknya dapat dianalisis melalui kerangka-kerangka berikut ini:
o Persuasi (desain dalam layanan kontrol dan pengaruh)
o Media Massa (desain sebagai komunikasi populer)
o Bahasa (desain sebagai idiom-idiom dan kosa kata berbeda)
o Identitas (desain sebagai tanda-tangan/signature)
o Informasi (desain sebagai petunjuk jalan dan rute/guidepost and pathway)
o Style (desain sebagai estetika dan mode/fashion)
o Commerce (desain sebagai perkakas pemasaran)
o Type menjembatani style, language, iconography dll.
o Iconography
(Heller, “Design Literacy: Understanding Graphic Design”)
Desain grafis yang akan dititikberatkan di sini adalah mengenai pembuatan desain logo. Sebagai salah satu bentuk yang menunjuk pada desain grafis, desain logo ternyata merupakan sebuah fenomena yang samar-samar namun kerap hadir dengan tidak disadari oleh banyak orang. Di jalan-jalan, pertokoan, gedung-gedung dan tempat keramaian, desain-desain logo hadir dalam bentukannya yang kecil ataupun besar biasanya cukup diketahui letak dan posisinya saja tanpa meneliti lebih jauh hal-ihwal pembuatannya.
Trademark-trademark terkenal, logo-logo, dan desain-desain lain identitas perseroan (kesemuanya itu adalah merujuk sebagai “logo” dalam studi ini demi kemudahan) adalah aset bernilai atas perusahaan yang memilikinya dan sebuah bagian terpadu dari usaha-usaha persuasi. Banyak perusahaan memberi perhatian pada dirinya sendiri dengan mengelola nilai aset-aset visual tersebut.
Desain-desain logo muncul dalam iklan-iklan, pengemasan, laporan tahunan, blangko surat, kartu bisnis, dan papan tanda, dan juga menyatu dengan desain-desain produknya sendiri. Mengidentifikasikan brand dari sebuah produk dengan mengenali logonya adalah sebuah aspek besar atas proses pembelian dan merupakan sebuah fungsi penting khususnya pada jaman ini ketika begitu banyak brand dan pesan-pesan yang bersifat promosi bersaing untuk mendapatkan perhatian pelanggan. (Wilson, 1994). (Pimentel, Heckler, “Changes in Logo Designs,” 106)
Logo-logo, dianggap sebagai suatu penyimpanan/gudang visual atas kumpulan brand, yang berada di antara elemen-elemen paling umum atas kombinasi dalam bidang pemasaran untuk digunakan dalam bentuk orisinalnya ketika beroperasi di luar negeri (Henderson et al., 2003; de Mooij, 2005). Namun demikian terdapat riset sistematis kecil pada pengaruh desain logo dalam evaluasi dan pemilihan brand. Dalam satu pengecualian, Henderson and Cote (1998) menunjukkan bahwa karakteristik desain mempengaruhi reaksi pada logo terlebih dahulu sebelum segala aktivitas promosional diterapkan. Maka dari itu, manajer-manajer pemasaran akan dengan sangat beruntung dari pemahaman atas prinsip-prinsip merancang, memilih atau memodifikasi logo.
… Kata “logo” biasanya digunakan untuk merujuk pada bermacam-macam grafis dan elemen-elemen typeface (tipemuka) berkisar dari word-driven (kendali-kata), konsep yang sederhana seperti logotypes (tipe logo) dan wordmarks (tanda kata), sampai pada image-driven (kendali-gambar), konsep yang lebih kompleks/rumit seperti brandmarks (tanda brand) (Henderson and Cote, 1998; Mollerup, 1997; Olins, 2003; Wheeler, 2003). Di dalam studi ini kata logo merujuk pada desain grafis yang sebuah perusahaan gunakan untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri. Para teoritikus setuju bahwa logo yang didesain dengan baik (well-designed) harus dapat dikenali, familiar, mendatangkan secara konsensus memegang arti dan membangkitkan pengaruh positif (Peter, 1989; Vatorella, 1990). Persepsi logo dapat mengarah pada kegemaran, atau mereka dapat membangkitkan respon estetik yang lebih intens (Bloch, 1995). Respon-respon estetik, yang dibentuk dalam reaksi pada elemen-elemen intrinsik atas suatu stimulus (rangsangan), mencakup perhatian dan keterlibatan yang kuat (Berlyne, 1971; Bloch, 1995; Lewalski, 1988; Veryzer, 1993). Meskipun reaksi estetik yang intens mungkin secara umum lebih berasosiasi dengan seni, terutama sekali desain-desain yang bergaung dapat menghasilkan reaksi emosional kuat dengan penuh nafsu di antara para pelangggan (Bloch, 1995).
Baik pengaruh positif maupun negatif keduanya dapat berpindah dari sebuah logo menuju suatu perusahaan/produk dengan sedikit atau tanpa pemrosesan informasi (Schechter, 1993). Pilihan-pilihan produk yang dibuat dengan minat atau keterlibatan tingkat rendah secara kuat dipengaruhi oleh brand awareness (pengenalan merk). Dalam beberapa peristiwa, suatu pengaruh yang dilekatkan pada suatu logo merupakan salah satu dari sedikit petunjuk yang membedakan suatu perusahaan/produk (Hoyer and Brown, 1990; Leong, 1993). Sebagaimana kebangkitan estetika menjadi sebuah komponen esensial atas pemasaran perusahaan maka menjadi penting untuk menentukan suatu keleluasan yang padanya elemen-elemen desain seperti proporsi menciptakan sebuah pengaruh positif (Schmitt and Simonson, 1997). (Pittard et.al, “Aesthetic theory and logo design,” 458-459)
Peluang seperti ini merupakan sebuah gerbang untuk mengaktualisasikan diri sebagai desainer grafis profesional yang akan diakui secara internasional meskipun misalnya belum mempunyai sertifikat dari Icograda (International Council of Graphic Design Associations), AIGA (American Institute of Graphic Arts), Central Academy of Fine Arts (di China) atau asosiasi-asosiasi internasional resmi lainnya. Tetapi, perkembangan ke arah sana masih sangat terbuka lebar untuk para desainer grafis yang ada di Indonesia yang ingin mendapatkan sertifikat tersebut. Semoga saja.
Bahan Bacaan
Anholt, Simon. (2005). Brand New Justice (Rev.ed.). Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann.
Berman, David B. Do Good Design How Designers Can Change the World. Berkeley: New Riders, Published in association with AIGA Design Press, 2009.
Heller, Steven. (2004). Design literacy : understanding graphic design (2nd ed.). New York: Allworth Press.
Pimentel, Ronald W., & Heckler, Susan E. (2003). Changes in Logo Designs: Chasing the Elusive Butterfly Curve. Dalam Scott, Linda M., & Batra, Rajeev (Eds.) Persuasive Imagery A Consumer Response Perspective (hal 106). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Pittard, Narelle., Ewing, Michael., & Jevons, Colin. (2007). Aesthetic theory and logo design: examining consumer response to proportion across cultures. International Marketing Review, 24(4), 457-473. Didapatkan kembali 12 Januari, 2010, dari http://www.emeraldinsight.com/0265-1335.htm
Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Wallahu’alam wallahul musta’an.
Pendahuluan
Perkembangan dunia multimedia dan desain grafis telah menyumbangkan sejumlah perubahan besar pada bentuk wajah peradaban itu sendiri. Desain grafis yang dipengaruhi oleh peradaban, dan peradaban yang dipengaruhi desain grafis adalah dua hal yang terjadi secara bersamaan. Seiring dengan perkembangan teknologi multimedia, warna-warni desain grafis pun menemukan makna tantangannya yang berarti saat ini. Seperti kebanyakan produk fine art lainnya, visual literasi yang bergenre desain grafis acapkali mampu termanfaatkan secara utuh oleh beberapa kalangan yang memang sangat membutuhkannya. Lebih jauh lagi, pemanfaatan hasil karya desain grafis nyata-nyata telah mampu memberikan keuntungan finansial yang tidak sedikit bagi para penggiatnya. Belum lagi jika terorganisasikan dengan baik, para desainer grafis bahkan mampu menjadi sendi-sendi industri kreatif yang menyokong sistem perekonomian sebuah negara. Desainer grafis lahir, tumbuh dan berkembang untuk menjawab tantangan sosial dan bisnis yang dari hari ke hari terus bergerak tak juga mau berhenti. Dengan semakin terbuka lebarnya peluang pada ruang-ruang kehidupan sosial masyarakat dunia, seorang desainer grafis dapat mengeruk keuntungan yang luar biasa atas keahliannya yang mumpuni.
Sekarang terdapat sebuah realisasi bahwa desain grafis bukanlah sebagai sesuatu yang berlangsung sebentar saja sebagaimana halnya pada kertas yang tercetak. Sejumlah iklan, poster-poster, pengemasan, logo-logo, buku-buku, dan majalah-majalah bertahan sebagai papan arah artistik, komersial, dan pencapaian teknologi dan lebih membicarakan tentang jaman tertentu atau lingkungan pergaulan daripada fine art. (Heller, “Design Literacy: Understanding Graphic Design”)
Setiap disiplin ilmu di mana seni dan bisnis bertemu mempunyai potensi untuk menjadi pembawa yang efektif atas pesan kultural –contohnya, ‘industri kreatif’, seperti grafis, desain produk dan pengemasan, periklanan, video-video musik, desain web, produksi televisi dan radio, penerbitan majalah dan buku- dan meskipun tujuannya bukanlah kultur yang tinggi tetapi aplikasi atas keahlian kreatif mengarah pada sebuah ujung komersial, mereka sama efektifnya ketika memperdalam dan memartabatkan sebuah cetakan brand (cap/merk) dari sebuah negeri. Kenyataan bahwa Britain (negeri Inggris), sebagai contoh, diketahui adakalanya dan secara jenaka memproduksi komersial TV yang indah, menyatakan dengan hasil tentang sebuah kualitas dan kreatifitas dari suatu lingkungan warga negara, dan membantu dengan caranya sendiri untuk membesarkan hati dalam batin pekerjaan, investasi dan bahkan mungkin turisme. Cara sebuah brand terjual dapat menjadi sama pentingnya dengan brand itu sendiri dalam mengkomunikasikan sesuatu dari sebuah negeri yang memproduksinya. (Anholt, “Brand New Justice”)
Latar Belakang
Segala usaha untuk menghadapi tantangan pasar global yang sudah berada di depan mata adalah sesuatu yang tak dapat terelakkan. Mulai dari regulasi pemerintah, strategi perusahaan, rancangan organisasional, hingga keterbukaan pemikiran dari masing-masing individu yang terlibat di dalam denyut perekonomian, sudah semestinya menjadi perhatian utama semua kalangan. Setiap kerangka penyusun stabilitas ekonomi sebuah bangsa dituntut untuk mampu menghadapi pasar global tanpa terlindas oleh kerugian atau bahkan kebangkrutan. Inovasi senantiasa diperlukan pada saat perubahan lingkungan menampakkan dirinya. Segala macam kesiapan dan persiapan sudah harus diberlakukan dan dijalankan oleh siapapun yang tengah berada dalam sebuah kancah pasar global. Meskipun beberapa kalangan menyatakan sudah terlambat.
Industri kreatif seperti desain grafis merupakan sesuatu yang akan mampu menjawab tantangan global tersebut. Desain grafis selalu hadir di dalam bentuk peradaban yang bagaimanapun, bahkan desain grafis pada salah satu negara maju telah mampu secara sengaja berpartisipasi dalam mensukseskan (atau menggagalkan) pencapaian politik dalam bingkai demokrasinya. The poor design of this ballot is therefore likely responsible for the failure of the United States… Meanwhile, good design can encourage youth to seize the cynical 54 percent u.s. election turnout rate as an opportunity. Desain yang miskin (buruk) pada surat suara tersebut adalah kemudian yang mungkin bertanggungjawab untuk kegagalan Amerika Serikat… Sementara, desain yang baik (bagus) dapat mendorong kaum muda untuk meraih angka kehadiran pemilu A.S. 54 persen yang bersifat sinis sebagai sebuah kesempatan. (Berman, “Do Good Design”)
Pemanfaatan desain grafis oleh institusi pemerintahan, perusahaan swasta, media massa, teknologi internet (web) atau bahkan oleh perorangan tidak lagi dipandang sebagai suatu hasil karya murah. Hasil karya desain grafis yang bersifat estetik dan mampu menjual, dapat diperhitungkan sebagai sebuah pekerjaan yang mampu menghasilkan keuntungan ekonomi. Dengan semakin banyaknya perguruan tinggi yang membuka jurusan desain grafis di Indonesia, peluang memperoleh kemampuan yang memadai tentang desain grafis semakin terbuka. Seiring dengan keadaan tersebut, karya-karya desain grafis pun semakin hari semakin memperbaiki kehadirannya dalam kehidupan sosial dan bisnis masyarakat agar terjadi persaingan yang sehat di antara para desainer grafis itu sendiri.
Kebutuhan pasar akan desain grafis merupakan sebuah kesempatan besar bagi seseorang agar mampu terjun dan berkecimpung di dalamnya, sebab desain grafis kadang-kadang (walaupun memang tidak selalu) merupakan bentuk fine art yang universal tanpa terlalu berkeberatan oleh aspek-aspek kultural dan demografi. Hasil-hasil karya desain grafis buatan orang-orang Indonesia beberapa di antaranya telah dipakai oleh perusahaan-perusahaan yang bertempat di luar wilayah republik ini. Persaingan dengan desainer-desainer grafis sesama Asia secara kentara ditemui pada sayembara-sayembara desain logo di dunia maya (namun dengan imbalan berupa hadiah yang nyata tentunya). Hadiah-hadiah sayembara berupa uang dalam bentuk dollar Amerika menjadi ambisi dan pencapaian tersendiri yang mengundang decak kagum bagi para desainer grafis khususnya desain logo.
Maksud dan Tujuan
Meskipun desain grafis dapat didefinisikan sebagai banyaknya kekritisan atas bentuk dan gaya yang berubah-ubah menurut diktat pasar, sebuah pemahaman atas suatu kerja tunggal atau genre-genre kerja yang dianalisis melalui kriteria subyek dan obyektif dapat menjadi bermanfaat dalam menentukan bagaimana desainer secara individu telah dapat membuat desain grafis berfungsi sepanjang waktu… Sebuah karya desain grafis setidaknya dapat dianalisis melalui kerangka-kerangka berikut ini:
o Persuasi (desain dalam layanan kontrol dan pengaruh)
o Media Massa (desain sebagai komunikasi populer)
o Bahasa (desain sebagai idiom-idiom dan kosa kata berbeda)
o Identitas (desain sebagai tanda-tangan/signature)
o Informasi (desain sebagai petunjuk jalan dan rute/guidepost and pathway)
o Style (desain sebagai estetika dan mode/fashion)
o Commerce (desain sebagai perkakas pemasaran)
o Type menjembatani style, language, iconography dll.
o Iconography
(Heller, “Design Literacy: Understanding Graphic Design”)
Desain grafis yang akan dititikberatkan di sini adalah mengenai pembuatan desain logo. Sebagai salah satu bentuk yang menunjuk pada desain grafis, desain logo ternyata merupakan sebuah fenomena yang samar-samar namun kerap hadir dengan tidak disadari oleh banyak orang. Di jalan-jalan, pertokoan, gedung-gedung dan tempat keramaian, desain-desain logo hadir dalam bentukannya yang kecil ataupun besar biasanya cukup diketahui letak dan posisinya saja tanpa meneliti lebih jauh hal-ihwal pembuatannya.
Trademark-trademark terkenal, logo-logo, dan desain-desain lain identitas perseroan (kesemuanya itu adalah merujuk sebagai “logo” dalam studi ini demi kemudahan) adalah aset bernilai atas perusahaan yang memilikinya dan sebuah bagian terpadu dari usaha-usaha persuasi. Banyak perusahaan memberi perhatian pada dirinya sendiri dengan mengelola nilai aset-aset visual tersebut.
Desain-desain logo muncul dalam iklan-iklan, pengemasan, laporan tahunan, blangko surat, kartu bisnis, dan papan tanda, dan juga menyatu dengan desain-desain produknya sendiri. Mengidentifikasikan brand dari sebuah produk dengan mengenali logonya adalah sebuah aspek besar atas proses pembelian dan merupakan sebuah fungsi penting khususnya pada jaman ini ketika begitu banyak brand dan pesan-pesan yang bersifat promosi bersaing untuk mendapatkan perhatian pelanggan. (Wilson, 1994). (Pimentel, Heckler, “Changes in Logo Designs,” 106)
Logo-logo, dianggap sebagai suatu penyimpanan/gudang visual atas kumpulan brand, yang berada di antara elemen-elemen paling umum atas kombinasi dalam bidang pemasaran untuk digunakan dalam bentuk orisinalnya ketika beroperasi di luar negeri (Henderson et al., 2003; de Mooij, 2005). Namun demikian terdapat riset sistematis kecil pada pengaruh desain logo dalam evaluasi dan pemilihan brand. Dalam satu pengecualian, Henderson and Cote (1998) menunjukkan bahwa karakteristik desain mempengaruhi reaksi pada logo terlebih dahulu sebelum segala aktivitas promosional diterapkan. Maka dari itu, manajer-manajer pemasaran akan dengan sangat beruntung dari pemahaman atas prinsip-prinsip merancang, memilih atau memodifikasi logo.
… Kata “logo” biasanya digunakan untuk merujuk pada bermacam-macam grafis dan elemen-elemen typeface (tipemuka) berkisar dari word-driven (kendali-kata), konsep yang sederhana seperti logotypes (tipe logo) dan wordmarks (tanda kata), sampai pada image-driven (kendali-gambar), konsep yang lebih kompleks/rumit seperti brandmarks (tanda brand) (Henderson and Cote, 1998; Mollerup, 1997; Olins, 2003; Wheeler, 2003). Di dalam studi ini kata logo merujuk pada desain grafis yang sebuah perusahaan gunakan untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri. Para teoritikus setuju bahwa logo yang didesain dengan baik (well-designed) harus dapat dikenali, familiar, mendatangkan secara konsensus memegang arti dan membangkitkan pengaruh positif (Peter, 1989; Vatorella, 1990). Persepsi logo dapat mengarah pada kegemaran, atau mereka dapat membangkitkan respon estetik yang lebih intens (Bloch, 1995). Respon-respon estetik, yang dibentuk dalam reaksi pada elemen-elemen intrinsik atas suatu stimulus (rangsangan), mencakup perhatian dan keterlibatan yang kuat (Berlyne, 1971; Bloch, 1995; Lewalski, 1988; Veryzer, 1993). Meskipun reaksi estetik yang intens mungkin secara umum lebih berasosiasi dengan seni, terutama sekali desain-desain yang bergaung dapat menghasilkan reaksi emosional kuat dengan penuh nafsu di antara para pelangggan (Bloch, 1995).
Baik pengaruh positif maupun negatif keduanya dapat berpindah dari sebuah logo menuju suatu perusahaan/produk dengan sedikit atau tanpa pemrosesan informasi (Schechter, 1993). Pilihan-pilihan produk yang dibuat dengan minat atau keterlibatan tingkat rendah secara kuat dipengaruhi oleh brand awareness (pengenalan merk). Dalam beberapa peristiwa, suatu pengaruh yang dilekatkan pada suatu logo merupakan salah satu dari sedikit petunjuk yang membedakan suatu perusahaan/produk (Hoyer and Brown, 1990; Leong, 1993). Sebagaimana kebangkitan estetika menjadi sebuah komponen esensial atas pemasaran perusahaan maka menjadi penting untuk menentukan suatu keleluasan yang padanya elemen-elemen desain seperti proporsi menciptakan sebuah pengaruh positif (Schmitt and Simonson, 1997). (Pittard et.al, “Aesthetic theory and logo design,” 458-459)
Peluang seperti ini merupakan sebuah gerbang untuk mengaktualisasikan diri sebagai desainer grafis profesional yang akan diakui secara internasional meskipun misalnya belum mempunyai sertifikat dari Icograda (International Council of Graphic Design Associations), AIGA (American Institute of Graphic Arts), Central Academy of Fine Arts (di China) atau asosiasi-asosiasi internasional resmi lainnya. Tetapi, perkembangan ke arah sana masih sangat terbuka lebar untuk para desainer grafis yang ada di Indonesia yang ingin mendapatkan sertifikat tersebut. Semoga saja.
Bahan Bacaan
Anholt, Simon. (2005). Brand New Justice (Rev.ed.). Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann.
Berman, David B. Do Good Design How Designers Can Change the World. Berkeley: New Riders, Published in association with AIGA Design Press, 2009.
Heller, Steven. (2004). Design literacy : understanding graphic design (2nd ed.). New York: Allworth Press.
Pimentel, Ronald W., & Heckler, Susan E. (2003). Changes in Logo Designs: Chasing the Elusive Butterfly Curve. Dalam Scott, Linda M., & Batra, Rajeev (Eds.) Persuasive Imagery A Consumer Response Perspective (hal 106). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Pittard, Narelle., Ewing, Michael., & Jevons, Colin. (2007). Aesthetic theory and logo design: examining consumer response to proportion across cultures. International Marketing Review, 24(4), 457-473. Didapatkan kembali 12 Januari, 2010, dari http://www.emeraldinsight.com/0265-1335.htm
Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Wallahu’alam wallahul musta’an.
0 comments:
Posting Komentar