Kuliah Umum Sang Mantan

Rabu, 23 Desember 2009, kuliah umum dengan tema “Kewirausahaan dan Politik di Indonesia” dari DR M. Jusuf Kalla siang hari itu terasa sedikit gerah sehingga produksi keringat peserta cukup lumayan, belum lagi suara dari microphone yang seringkali terdengar kurang jelas membuat konsentrasi peserta dituntut lebih. Tetapi hal itu tidak menjadikan semangat peserta untuk mengikuti kuliah mengendur. Selama sekitar lima puluh menit kuliah tersebut berlangsung, saya mencoba untuk menahan rasa kantuk yang biasa mengiringi acapkali mengikuti perkuliahan. Dan memang akan sulit untuk merasakan kantuk jika berada di dalam sebuah aula yang semua kursinya terisi penuh ketika mengikuti kuliah umum dari seorang ex Vice President of Indonesian Republic.

Masa Lalu
Kebiasaan pembicaraan pembukaan bagi seorang pejabat Negara adalah menceritakan “mengapa saya berada di sini?” Pak Jusuf menyebutkan tentang janjinya pada periode kampanye beberapa waktu lalu tentang apa-apa yang akan dilakukan jika dirinya tidak terpilih sebagai Presiden. Rupanya memberikan kuliah umum adalah juga bagian dari menepati janjinya kepada bangsa. Tentu saja dalam kerangka melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Mengenai kenaikan BBM dan permasalahan listrik pada masa pemerintahannya dulu, mantan Wapres RI ini, menyebutkan tentang subsidi pemerintah yang terlalu besar untuk sektor-sektor tersebut mengakibatkan anggaran untuk pembangunan sektor lain menjadi terhambat. Maka dari itu, Pak Jusuf meneruskan, harus ada pengurangan subsidi agar pembangunan pada sektor lain dapat terlaksana dengan baik.

Sedikit Kuliah
Pada era sebelum reformasi, banyak pejabat Negara yang terjun ke dunia kewirausahaan (menjadi seorang pengusaha) setelah pensiun dari kegiatan politiknya. Namun setelah reformasi, yang terjadi adalah kebalikannya, banyak pengusaha yang kemudian terjun ke dunia politik. Penyebab utama dari keadaan tersebut adalah undang-undang dalam demokrasi kita yang tidak membolehkan seorang PNS dan anggota TNI dan POLRI untuk menjadi pengurus partai politik. Sehingga sebuah partai politik akan terisi oleh para pengusaha yang bukan merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil. Begitu kurang lebih yang disampaikan DR M. Jusuf Kalla ketika mengawali kuliah umumnya.

Lalu apa persamaan antara politik (dalam hal ini pejabat Negara) dan kewirausahaan (dalam hal ini pengusaha)? Di dalam politik, erat kaitannya dengan seni untuk mengelola Negara untuk tujuan dan kepentingan yang baik tentu saja. Kewirausahaan pun selalu menuntut pengelolaan yang baik, di mana seorang pengusaha harus bekerja keras untuk mengubah nilai suatu barang misalnya, sehingga mendatangkan manfaat yang lebih. Begitu juga dengan sebuah Negara, seorang pejabat Negara dituntut untuk berpikir extra keras agar anggaran Negara dapat memberikan manfaat yang besar kepada seluruh lapisan rakyatnya dengan menghindari kerugian Negara tentunya. Satu hal yang penting adalah bahwa mengelola Negara dan menjadi seorang pengusaha, sama-sama harus memiliki tujuan yang nyata dan jelas.

Perbedaan utamanya adalah bahwa seorang pejabat Negara harus selalu berupaya menghindari kerugian anggaran Negara, sebab kerugian Negara akan mempunyai dampak yang sangat besar bagi rakyatnya sendiri, sedangkan kerugian seorang pengusaha bisa jadi hanya ditanggung oleh dirinya sendiri atau oleh beberapa orang saja. Pak Jusuf juga menekankan pentingnya moralitas pada diri seorang pejabat Negara maupun seorang pengusaha, agar peristiwa-peristiwa seperti kasus Century tidak perlu terjadi.

Selanjutnya, apakah menjadi seorang pengusaha merupakan sesuatu yang dapat dipelajari? Pak Jusuf mengatakan bisa, tetapi tidak mutlak. Harus berani mengambil resiko, melakukan inovasi-inovasi. Resiko dan kegagalan merupakan hal yang biasa terjadi. Ia mencontohkan tentang para orangtua bangsa China yang menurunkan sifat menjadi pengusaha kepada anak-anaknya sehingga muncul banyak pengusaha. Pada gilirannya, terciptalah iklim berwirausaha. Lebih jauh, disebutkan bahwa pendapatan terbesar Negara ini berasal dari pajak. Dan siapakah pembayar pajak itu? Para pengusaha. Maka dari itu Pak Jusuf menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk menambah, menghidupkan iklim usaha.

Terakhir, DR M. Jusuf Kalla menantang generasi muda dalam kaitannya dengan kebutuhan dunia usaha terhadap generasi muda. “Silahkan Anda mempelajari politik dengan buku-buku yang sekian banyak, namun jika ekonomi tidak berjalan maka Negara akan selalu berada dalam permasalahan besar (kacau)…” Kegiatan ekonomi harus berjalan, para pengusahalah yang melakukannya, ketika ekonomi sudah berjalan maka ketika itulah dibutuhkan inovasi-inovasi. Menjadi seorang pejabat Negara maka segala keuntungan akan kembali kepada Negara, jika mengalami kerugian maka seluruh rakyat yang terkena imbasnya.

Dibuang Sayang
Sebetulnya, sesi tanya-jawab setelah kuliah umum ini yang diselingi oleh orasi dari penanya cukup menarik untuk diceritakan tetapi saya tidak merasa kompeten untuk menuliskannaya. Namun, ada satu pertanyaan menarik dari salah seorang peserta mengenai kesiapan bangsa ini menghadapi pasar bebas, tentang adanya kekhawatiran akan kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Pak Jusuf menyebutkan bahwa kekhawatiran tersebut tidak perlu ada mengingat bahwa sebelum pasar bebas pun para pengusaha kita telah mampu bersaing, maka optimisme itu pun akan muncul ketika menghadapi pasar bebas. Dengan infrastruktur dan kebijakan pemerintah yang baik dan mendukung tentunya.

Satu lagi, permasalahan kesetimbangan di dalam menjalankan koperasi misalnya, keberanian menempuh resiko sangat diperlukan kata Ketua Umum PMI ini. Kesetimbangan tidak bisa melulu dipelajari dari cerita-cerita ataupun text-books. Seperti seseorang yang sedang belajar naik sepeda lanjutnya, seseorang harus menaiki sepeda tersebut agar kemudian dapat mengendarainya. Tidak hanya mampu menyebutkan tentang kesetimbangan itu sendiri, tetapi juga dengan melaksanakan kesetimbangan tersebut dalam perjalanannya.

Dan, iring-iringan mobil sedan Lexus, mobil Patwal dan mobil-mobil lainnya pun berlalu di hadapan saya, yang setelah kuliah umum tersebut saya akan pulang dengan menjinjing 4,5 kg cucian bersih di depan sebuah laundry.


Wallahu’alam wallahulmusta’an.
Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Baca selanjutnya...

Sekilas Media, Demokrasi dan Masyarakat

Buka Pintu
Akses informasi sangat penting bagi kesehatan demokrasi setidaknya untuk dua alasan. Pertama, hal ini memastikan bahwa warga negara membuat pilihan yang bertanggungjawab atas informasi, bukan hanya bertindak keluar dari ketidaktahuan atau kekeliruan. Kedua, informasi menjalankan " fungsi pemeriksaan " dengan memastikan bahwa wakil terpilih menjunjung tinggi sumpah jabatan mereka dan melaksanakan keinginan orang-orang yang memilih mereka (Center for Democracy and Governance, “The Role Of Media In Democracy: A Strategic Approach” 1999 Juni). Setidaknya juga, dengan adanya akses informasi yang demikian, seseorang boleh meyakini bahwa dirinya memang tengah berada dalam sebuah negara demokrasi. Menjadi sesuatu hal yang amat lumrah jika perkembangan demokrasi pada sebuah negara kemudian diikuti dengan perkembangan media massa yang hadir di dalamnya, atau malah sebaliknya, perkembangan media massa yang lalu diikuti oleh perkembangan demokrasi. Bagaimanapun hal tersebut dapat terjadi, kehadiran media massa dan segala peranannya adalah tidak terelakkan di dalam sebuah kerangka negara demokrasi.

Permasalahan mengenai media yang terkekang oleh hukum yang ketat, kepemilikan yang bersifat monopoli atau bahkan ancaman kekerasan, juga bukanlah merupakan hal yang luar biasa, karena memang acapkali terjadi pada negara demokrasi apalagi yang bukan negara demokrasi. Tidak tanggung-tanggung, hasilnya pun dapat terlihat dan dapat dirasakan oleh masyarakat yang berada di dalamnya. Pada banyak negara demokrasi yang baru tumbuh, media telah mampu menegaskan perannya dalam menopang dan memperdalam demokrasi. Pelaporan investigatif, yang dalam beberapa kasus telah mengakibatkan pemecatan presiden dan jatuhnya pemerintahan yang korup, telah membuat media menjadi pengawas (watchdog) yang kredibel dan efektif dan meningkatkan kredibilitasnya di kalangan publik (Coronel, “The Role Of The Media In Deepening Democracy”, 2003). Lalu bagaimana dengan sebuah negara yang sudah puluhan tahun mengalami otoritarianisme, kemudian bangkit dengan era keterbukaan untuk mendukung berjalannya demokrasi yang sehat? Siapa yang paling siap dan siapa yang paling tertinggal? Pada masa seperti inilah peranan media massa benar-benar ditantang keberadaannya. Mungkin pada awalnya era keterbukaan yang dikoreksi oleh media saat ini, sedikit memberikan keterkejutan pada publik. Bukan hanya publik, bahkan legislatif, yudikatif apalagi eksekutif, pun merasakan shock therapy yang serupa. Namun, keberadaan media yang demikian, sesungguhnya telah berjalan pada relnya karena media memang sedang menjalankan fungsinya sebagai pengawas. Lembaga-lembaga negara sudah harus bersiap-siap dengan kenyataan ini, terlebih lagi publik yang mulai membuka mata dan berpengharapan besar pada pemerintahan yang telah dipilihnya.

Menyiapkan Pesta
Fungsi demokratis paling penting yang kita dapat mengharapkan media untuk melayani tercantum dalam artikel yang sering dikutip oleh Gurevitch dan Blumler (1990). Fungsi-fungsi ini meliputi pengawasan terhadap perkembangan sosial politik, mengidentifikasi isu-isu yang paling relevan, menyediakan platform untuk debat melintasi beragam pandangan, membuat pejabat bertanggungjawab untuk menjelaskan cara mereka menjalankan kekuasaan, memberikan insentif bagi warga negara untuk belajar, memilih, dan menjadi terlibat dalam proses politik, dan melawan upaya-upaya kekuatan di luar media untuk menumbangkan kemerdekaan mereka.

Namun, ada kekhawatiran yang berkembang bahwa media massa tersebut tidak memenuhi fungsinya dengan benar. Kritikus media menyatakan bahwa media massa komersial yang dikendalikan oleh beberapa konglomerat multinasional telah menjadi kekuatan antidemokrasi yang mendukung status quo (Kellner 2004; Herman dan Chomsky 1988; Herman dan McChesney 1997; Alger 1998; McChesney 1999; Keane 1991). Berita lebih bersifat menghibur daripada memberikan informasi, kebanyakan menyediakan gosip, skandal, seks, dan kekerasan. Berita politik lebih tentang kepribadian daripada tentang ideologi mereka. Dalam ketiadaan perdebatan serius, para pemilih yang tersisa dibayar dengan propaganda politik yang hanya berisi slogan-slogan tanpa makna membuat mereka tidak tertarik dan sinis tentang politik (Bagdikian 1983; Fallows 1996; Capella dan Jamieson 1997; Bennett dan Entman 2001; Barnett 2002). Hal ini juga mengklaim bahwa anjing penjaga (watchdog/pengawas) menggonggong pada sesuatu yang salah. Media berburu skandal dalam kehidupan pribadi politisi dan keluarga mereka, tetapi mengabaikan akibat-akibat yang jauh lebih serius dari kebijakan-kebijakan mereka. Mereka pergi setelah politisi terluka seperti hiu dalam kegila-gilan pemberian makan (Sabato 1991). Terlalu sering, media membuat kita takut pada sesuatu yang salah. Bahaya-bahaya minor secara histeris meledak keluar dari proporsi, sementara bahaya-bahaya yang jauh lebih serius dalam masyarakat kita sebagian besar pergi tanpa diketahui (Glassner 1999). Ketakutan yang berlebihan sering mengarahkan pada langkah-langkah yang tidak perlu dan perundang-undangan dan "keadilan Gonzo" (Altheide 1995, 2002; Altheide dan Michalowski 1999) (Fog, “Mass media and democracy crisis”, 2004).

Pernyataan-pernyataan tentang; “…saya orang Timur…” atau “…kita tidak ingin berdebat di media…” atau bahkan “…saya baru tahu dari siaran televisi tadi siang…”, sebenarnya tidak perlu mendapat perhatian yang terlalu serius. Bahkan mungkin sebenarnya, pernyataan dari orang-orang yang memang bersangkutan dengan sebuah berita tersebut tidak perlu disampaikan. Publik yang cerdas tidak akan terlalu membutuhkan informasi tentang “apa yang sedang Anda lakukan?”, begitu pun dengan media yang memberikan informasi, media seharusnya tidak memberikan pelaporan tentang “bagaimana perasaan Anda mengenai kejadian ini?”. Warga masyarakat lebih membutuhkan sebuah informasi yang imparsial, yang berisi pencerahan, yang memberikan nilai positif untuk kehidupan dan lingkungannya, tanpa melulu mempermasalahkan kehidupan pribadi seseorang dan tanpa terus-menerus mempermasalahkan peranan media yang sedang memberitakannya.

Di sisi lain, beberapa kalangan mempunyai sikap yang apatis terhadap media, tidak peduli apakah media tersebut telah melaksanakan fungsinya dengan benar atau tidak. Masyarakat yang sangat mudah terpengaruh, merupakan sebab yang menjadi perhatian utama kalangan yang dimaksud. Kalangan tersebut tidak ingin masyarakat bertindak terlalu berlebihan dan keluar batas hanya karena tersulut oleh pemberitaan media. Mereka hanya menginginkan agar masyarakat bertindak lebih arif dan bijaksana dalam memandang sebuah berita atau informasi. Terlebih dahulu meneliti kebenaran suatu berita merupakan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh setiap warga masyarakat. Lebih dalam lagi, warga masyarakat seharusnya membuang jauh-jauh segala prasangka atas suatu berita dengan tidak terlalu cepat menarik sebuah kesimpulan yang pada akhirnya melahirkan tindakan yang terburu-buru. Dengan keterburu-buruan, sikap yang emosional amat mudah tertumpah, akal sehat dan kejernihan pun akan raib dari pikiran masyarakat. Tidak ada satu kalanganpun yang menghendaki hal seperti itu terjadi pada sebuah masyarakat.

Kalangan yang apatis terhadap media seperti yang telah disebutkan di atas, seharusnya pula mendapatkan perhatian umum. Demokrasi yang sulit untuk dipersalahkan, kekuasaan pemerintah yang seolah-olah menyediakan celah untuk kritik namun sebenarnya menutup diri dan media yang selalu mempunyai tameng untuk membenarkan dirinya sendiri, merupakan sumber kebingungan masyarakat yang mau tidak mau harus terlibat dalam proses politik sebuah negara. Hal-hal tersebut akan dengan sangat leluasa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan agar warga masyarakat bersikap tidak peduli pada segala kebijakan yang terjadi, yang pada ujungnya kebijakan tersebut malah merugikan masyarakat pada umumnya. Pada keadaan ini, sikap apatis masyarakat terhadap media seharusnya tidak terjadi. Masyarakat sebaiknya mengambil inisiatif dan bersikap aktif untuk juga memberikan masukan pada segala kebijakan negara yang akan dijalankan oleh masyarakat secara keseluruhan nantinya. Perbaikan dari warga masyarakat akan banyak bermanfaat. Namun, akan berbeda jika keadaannya sudah sedemikian parah sehingga tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk memperbaiki keadaan. Sikap apatis masyarakat terhadap media benar-benar diperlukan dalam keadaan seperti ini. Lama-kelamaan sikap apatis tersebut akan berubah menjadi sebuah gerakan perlawanan dengan diam namun penuh makna yang akan lebih mempunyai pengaruh yang kuat pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan, karena warga masyarakat akan lebih disibukkan dengan permasalahan guna membangun dirinya sendiri daripada rikuh mengikuti perkembangan sebuah berita dari media yang tidak ada akhirnya. Sesuatu yang menguntungkan cenderung akan ditinggalkan masyarakat, terlepas dari perkara kebenaran atau bukan. Tidak ada salahnya untuk tidak peduli pada hal-hal yang memang tidak menguntungkan masyarakat secara kolektif.

Akhir Cerita
Tidak pernah ada akhir cerita untuk sebuah perjalanan kehidupan duniawi. Cerita itu terus berkembang, kadang terdapat titik terang, dil ain waktu malah kegelapan yang didapatkan. Tidak perlu mengambil kesimpulan untuk membenarkan tindakan yang sudah jelas-jelas kesalahannya hanya untuk memperpanjang isi cerita. Begitu pun dengan sebuah negara, sebuah bangsa, memiliki latar belakang cerita yang kemudian menjadi karakter yang khas bagi orang-orang yang mendiaminya. Peranan media dalam demokrasi adalah sebuah cerita yang tak akan pernah berakhir. Peranan masyarakatlah yang seharusnya dituntut lebih jauh, bagaimana menyikapi demokrasi, bagaimana menyikapi media, bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan. Sehingga bisa tidak bisa, masyarakat secara keseluruhanlah yang seharusnya menerima konsekuensi yang paling menguntungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bersikap dewasa dan elegan bukan sekedar kalimat-kalimat manis yang disampaikan oleh praktisi maupun pengamat politik dalam talkshow siaran televisi yang pasti diamini dengan tepuk tangan para penontonnya, tetapi harus lebih dari itu.

Wallahu'alam wallahulmusta'an.

Bahan Bacaan
Center for Democracy and Governance Bureau for Global Programs, Field Support, and Research U.S. Agency for International Development Washington, D.C. 20523-3100, “The Role Of Media In Democracy: A Strategic Approach” (June 1999). http://www.usaid.gov/our_work/democracy_and_governance/publications/pdfs/pnace630.pdf (diakses 11 November, 2009).
Coronel, Sheila S. “The Role of the Media in Deepening Democracy” (11/06/2003). http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/UN/UNPAN010194.pdf (diakses 11 November, 2009).
Fog, Agner. “Mass media and democracy crisis” (working paper, 2004-05-20). http://www.agner.org/cultsel/mediacrisis.pdf (diakses 11 November, 2009).

Baca selanjutnya...

Menghargai Hidup

Menghargai hidup karena kematian itu sangatlah sakit
Ya, menghargai hidup, karena memang sebenarnya kematian adalah sesuatu yang sangat menyakitkan, secara fisis tentu saja. Begitu banyak didapati gambaran tentang kematian dari banyak manusia itu sendiri yang akan mengalami kematian dengan pasti. Organ-organ tubuh yang perlahan-lahan tidak lagi terasakan, nafas yang semakin lama semakin sesak, jantung yang diketahui dengan sadar sudah harus berhenti, belum lagi kesakitan seperti yang telah digambarkan oleh orang-orang sebelumnya, merupakan bukti yang nyata bahwa kematian itu memberikan rasa sakit yang luar biasa. Bukan semata filosofis atau bahkan analogis, kematian memang benar-benar merupakan sebuah berita atau informasi dari sistem syaraf manusia yang menyebutkan bahwa sistem itu sudah harus berhenti, dalam kurung, mati.

Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, setiap manusia yang hidup pasti akan mengalami kematian, dan setiap manusia rupanya telah pula menyadarinya. Namun, sesuatu yang sangat jarang disadari adalah mengenai penghargaan terhadap hidup itu sendiri yang harus dilakoni sebelum kematian datang. Bagaimana pemikiran seseorang dalam memandang hidup menjadi titik tolak baginya sebelum menghargai hidupnya sendiri. Penghargaan terhadap hidup dimulai dari angapan-anggapan tentang hidup yang bisa datang dari mana saja; dari tokoh-tokoh yang diidolakan, dari lingkungan keluarga yang sangat dekat, dari guru-guru pada bidangnya masing-masing, dari orang-orang muda bersahaja, dari orang-orang tua berprestasi, atau bahkan dari orang-orang yang tidak dikenal sama sekali yang kebetulan melintas di hadapan kita, kemudian kita terinspirasi untuk memberikan sebuah anggapan terhadap hidup. Apapun itu, anggapan terhadap hidup memberikan arahan jalan selanjutnya untuk menjalani hidup. Tetap saja masih perlu diingat, bahwa semua anggapan tentang hidup selalu berujung pada sebuah kematian yang merupakan sebuah kepastian. Dan sekali lagi, bahwa kematian adalah sebuah kesakitan yang luar biasa.

Ketika telah diketahui kebenaran-kebenaran tentang sakitnya sebuah kematian, maka tentu tidak ada jalan lain bagi seorang manusia selain bahwa dirinya harus menghargai hidup, karena tidak ada seorangpun yang menghendaki sebuah kematian yang sia-sia. Penghargaan terhadap hidup memberikan peluang bagi seseorang untuk menjalani hidup secara lebih baik dan akan berlangsung secara terus-menerus. Dalam hal ini adalah penghargaan terhadap hidup yang menjadikan perjalanan hidup menjadi lebih baik. Dengan mengingat kematian, akan muncul kesadaran tentang misteri waktu ketika seseorang menjalani hidup. Tidak ada yang mengetahui dengan pasti kapan seseorang akan didatangi oleh kematian kecuali sedikit orang. Dengan misteri tersebut, penghargaan terhadap hidup juga mengawali tindakan hati-hati bagi seorang manusia ketika berjalan melewati hidupnya.


Menghargai hidup melahirkan kenyataan hidup yang lain
Penghargaan terhadap hidup tidak akan muncul dari sikap pembangkangan seseorang terhadap segala kebenaran yang datang padanya. Seseorang tidak akan pernah menghargai hidup jika ia tidak mau membuka dirinya sendiri untuk sebuah kebenaran yang datang menghampirinya. Ia hanya melihat apa-apa yang tampak baginya sebagai sebuah kebenaran, kemudian ia merasa harus meyakininya, padahal sebenarnya ia buta terhadap kebenaran itu sendiri. Sebenarnya ia telah tertipu oleh dirinya sendiri dengan menganggap bahwa hati nuraninya adalah baik dan suci.

Dengan alasan hati nurani, banyak orang merasa telah berada di atas kebenaran, padahal sesunguhnya tidaklah selalu demikian, karena kebenaran itu bukan bersumber dari hati nurani tetapi bersumber dari Sang Khalik. Sang Khalik adalah satu-satunya sumber kebenaran. Adapun jika pada suatu tempat atau suatu ketika, Sang Khalik “menyisipkan” kebenaran itu pada hati nurani seorang manusia, maka seseorang harus menyadari bahwa kebenaran itu telah datang dari Sang Khalik dan bukan secara mutlak berasal dari hati nurani manusia. Hal ini mungkin saja terjadi karena Sang Khalik memang memiliki kekuasaan untuk membolak-balikkan hati manusia. Sebaliknya, seorang manusia tidak memiliki kekuasaan sedikitpun untuk menetapkan hatinya sendiri pada suatu keadaan tanpa pertolongan dari Sang Khalik. Hal ini memberikan kesadaran bagi seorang manusia untuk terus-menerus berdo’a agar hatinya senantiasa ditetapkan di atas kebenaran ketika menjalani hidup di dunia.

Kesadaran dalam menghargai hidup dapat terjadi kapan saja dan pada siapa saja. Hal ini mengandung pengertian bahwa kesadaran itu dapat terjadi pada orang-orang muda ataupun orang-orang tua. Ada yang sedari muda sudah menyadari ihwal penghargaan terhadap hidup, ada pula yang baru menyadarinya setelah melewati masa-masa tua. Kesadaran untuk menghargai hidup tidak selalu bergantung pada banyaknya waktu yang telah dilewati oleh seseorang dalam menjalani hidup. Kesadaran itu dapat terjadi kapan saja dan pada siapa saja. Namun alangkah indahnya, jika kesadaran tersebut sudah dimiliki oleh seseorang selagi ia masih muda. Dengan anggapan bahwa orang-orang muda masih memiliki waktu yang lebih panjang dalam menjalani hidup dibandingkan dengan orang-orang tua, meski anggapan tersebut tidaklah selalu benar. Dari sini, dapatlah dipahami bahwa kesadaran dalam menghargai hidup akan melahirkan kenyataan hidup yang lain, baik bagi satu orang manusia yang telah sadar maupun bagi banyak manusia lain yang berinteraksi dengan satu orang manusia tersebut.

Orang-orang muda yang sadar akan penghargaan terhadap hidup akan menjalani hidupnya untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Orang-orang tua yang memiliki kesadaran yang sama, akan senantiasa bersyukur atas hidup yang telah dilewatinya. Keadaan selanjutnya setelah kesadaran menghargai hidup pada orang-orang muda dan orang-orang tua, adalah bahwa mereka akan memberikan andil yang amat besar bagi manusia lain yang berada di sekitarnya. Orang-orang muda tersebut akan selalu bekerja tanpa henti untuk kepentingan kehidupan manusia pada umumnya dan orang-orang tua akan senantiasa dijadikan idola yang mencerahkan bagi sebagian manusia lainnya. Kenyataan hidup yang lain yang benar-benar diidam-idamkan oleh sebagian besar manusia akan menjadi lebih cepat terwujud. Kenyataan tentang hidup yang memberikan rasa aman, tentram, nyaman dan sejahtera menjadi sesuatu yang tidak mustahil jika kesadaran menghargai hidup telah dimiliki. Bukan kenyataan tentang hidup yang selama ini memberikan tekanan dan rasa marah pada keadaan sekitar.


Menghargai hidup, menyambut kematian dengan arif
Setelah seseorang mampu untuk menghargai hidup niscaya ia akan lebih siap dan tenang ketika menghadapi kematian. Sebuah kematian tidak akan lagi dianggap sebagai sebuah tragedi yang menyakitkan, karena telah disadari bahwa apa-apa yang telah dilakukan selama hidup adalah sesuai dengan kebenaran dari Sang Khalik. Seseorang akan menjadi lebih arif ketika waktu kematian itu semakin dekat dan semakin disadari pula bahwa menghargai hidup merupakan sebuah kebenaran yang “disisipkan” oleh Sang Khalik pada hatinya. Ia akan rela terhadap rasa sakit yang menimpanya ketika kematian itu perlahan-lahan mendatanginya, karena disadari pula bahwa sebuah kehidupan datang dari Sang Khalik dan sebuah kematian juga datang dari Sang Khalik. Apabila semua tugas telah diselesaikan dengan baik dan segala kewajiban kepada Sang Khalik telah dilaksanakan dengan sempurna selama menjalani hidup di dunia, maka mungkin saja bagi sebagian manusia bahwa kematian itu merupakan rasa sakit yang menentramkan atau bahkan menyenangkan.


Wallahu’alam Wallahulmusta’an
Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan


Baca selanjutnya...

Sedikit Harapan

Dari Orang Hebat
Kegigihan di dalam memperhatikan keadaan yang terjadi kemudian berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan bersandar pada sebuah kebenaran yang hakiki adalah sebuah pekerjaan yang sangat berat dan memberatkan. Itulah sebabnya sebagian dari kita menjadi orang-orang yang hebat lagi dicintai oleh orang-orang setelahnya. Pengamatan yang disusul dengan suatu analisis yang faktual dan masuk akal acapkali harus diakui secara lapang dada, memang berada pada beberapa orang hebat tersebut. Karena kebiasaan hidup kita yang tidak sama dan sama sekali berbeda dengan mereka, menjadikan segala tindak-tanduk dan kebiasaan sehari-hari orang-orang hebat sebagai sumber inspirasi yang membuat cerah langkah hidup kita sendiri.

Dari Anak-Anak Kita
Pengkultusan tidak hanya terjadi pada ranah agamawi, pengkultusan juga terjadi pada ranah lainnya seiring dengan perkembangan zaman itu sendiri ternyata. Kita melihat bagaimana anak-anak kecil kita hapal mati akan lagu-lagu dari grup band orang-orang dewasa. Sehingga tingkah-laku dan sikap mereka kita dapati sangat mengejutkan diri kita sendiri. Jangankan kesopanan dan adab-adab bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua, cara bicara anak-anak itu sendiri dengan teman sebayanya pun sering membuat kita geleng-geleng kepala. Persoalan lain timbul dari rasa sayang orang tua yang berlebihan terhadap anak-anaknya, sehingga cenderung membiarkan segala perbuatan anak-anak meskipun sebenarnya orang tua itu sendiri meyakini kesalahannya. Pembiaran ini akan melahirkan sebuah persoalan yang jauh lebih besar lagi ketika orang tua dihadapkan pada sebuah ujian yang datang kepadanya. Dan memang sesungguhnya anak-anak adalah ujian. Ujian yang datang dari Sang Pemberi Anugerah mengenai kebenaran dan keberadaan anak-anak yang menjadi cobaan tersendiri bagi orang tua.

Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah, mampukah orang tua melaksanakan segala perintah Sang Khalik tanpa merasa terberati oleh segala tingkah laku dan perbuatan anak-anaknya? Apakah anak-anak telah membuat lalai orang tua dari senantiasa mengingat Sang Khalik?

Yang semestinya diingat adalah bahwa sesungguhnya anak-anak adalah amanah atau titipan, sebagaimana sebuah titipan yang pada suatu saat nanti titipan itu akan diambil kembali oleh Sang Pemberi, maka menjaga titipan untuk selalu sesuai dengan apa-apa yang telah diperintahkan adalah sebuah kemestian. Bahwa anak-anak nantinya menjadi orang-orang dewasa adalah sesuatu yang tak dapat dipungkiri, tetapi pertanyaannya adalah akan menjadi orang-oarng dewasa yang seperti apa? Kita tidak ingin mempunyai anak-anak yang tidak pernah mengenal Sang Pencipta-nya sendiri. Oleh sebab itu, pengenalan terhadap perintah-perintah Sang Khalik semenjak anak-anak merupakan hal yang perlu lagi bermanfaat bagi anak-anak itu sendiri kelak jika sudah menginjak masa dewasa. Lebih dari itu, orang tua pun akan selamat di hadapan Sang Pemberi Anugerah karena telah menjaga titipan-Nya dengan benar, sesuai dan baik.


Sedikit Harapan
Setelah itu baru kita boleh berharap tentang anak-anak kita yang kemudian bisa menjadi orang-orang hebat. Karena memang kita telah sangat bertanggung-jawab di dalam memperlakukan dan mendidik mereka sehingga sesuai dengan perintah-perintah Sang Khalik. Kita tidak perlu mengkhawatirkan apakah anak-anak kita akan mendoakan kita, karena sesungguhnya doa-doa akan dengan sendirinya anak-anak panjatkan untuk orang tuanya ketika anak-anak tersebut telah dewasa dan menyadari bahwa orang tuanya telah mendidiknya dengan benar dan sesuai dengan perintah Sang Khalik.

Wallahu`alam Wallahulmusta`an.


Ciwaruga, Bandung???

Baca selanjutnya...

Memperhatikan Langkah Kita Sendiri

Pada Awalnya adalah Ingatan
Kalau saja setiap langkah dalam hidup kita dapat terekam dengan sangat jelas dan kemudian kita mampu untuk melihat rekaman tersebut kapanpun kita mau, niscaya kita akan menjadi seseorang yang sangat berhati-hati di dalam menjalani setiap inchi kehidupan ini. Betapa sebuah perekaman yang kemudian dapat terperhatikan dengan seksama selalu mampu memberikan fakta-fakta baru yang mencerahkan. Lebih dari itu, tindakan yang kemudian hendak diambil pun akan terasakan lebih mantap dan menguatkan. Sayangnya, kita hanya mampu mengingat sebagian saja dari apa-apa yang telah kita lalui. Dan parahnya lagi, ingatan akan sesuatu yang tidak baik seringkali malah mendominasi langkah-langkah perjalanan hidup kita ke belakang.

Telah dipahami dengan sangat baik oleh seluruh manusia yang sehat, bahwa kepingan-kepingan ingatan ternyata tidak selalu berada dalam keadaan yang sehat dan mudah terakses oleh manusia itu sendiri. Kadangkala didapati sebuah kepingan yang rusak seluruhnya, kadang pula rusak sebagian dan sebagian lainnya baik-baik saja, ada lagi yang mendapati bahwa kepingan-kepingan tersebut tingkat kerusakannya bergantung pada waktu-waktu tertentu yang dilalui. Misalnya, ketika seseorang menemui sesuatu yang sangat familiar pada malam hari, ia mendapati kepingan-kepingan ingatan yang berhubungan begitu erat dengan suasana malam hari yang tidak dapat ia hapuskan. Hal ini tidak terjadi pada semua orang, tetapi setidaknya kita telah mampu mengenali bahwa kepingan-kepingan ingatan merupakan sesuatu yang patut untuk diberikan perhatian serius oleh seseorang yang tengah menjalani kehidupannya di dunia ini.

Ratusan bahkan ribuan orang di dunia ini mempelajari bagaimana kepingan-kepingan ingatan ini dapat bekerja, bagaimana ia memulai dan bagaimana ia berakhir, bagaimana kepingan-kepingan ini mengalami evolusi seiring perjalanan peradaban manusia itu sendiri; dilihat dari hasil teknologi yang terciptakan pada saat-saat tersebut yang lalu memberikan informasi pada peradaban manusia setelahnya, bagaimana kepingan-kepingan ingatan tersebut mampu bertahan pada diri seorang manusia dan berapa banyak kepingan tersebut masih dapat ditampung, bagaimana pula mempelajarinya dari bidang-bidang ilmu pengetahuan berbeda yang sedang berkembang, lalu bagaimana pula analogi yang digunakan sehingga sampai pada interaksinya terhadap apa yang dilakukan oleh masing-masing bidang ilmu pengetahuan yang berbeda-beda tersebut di dalam mempelajari kepingan-kepingan ingatan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut belumlah sepenuhnya terjawab, namun langkah-langkah riset dan penelitian memberikan kemajuan yang berarti.

Semua hal di atas dilakukan untuk mengetahui siapa diri kita sendiri, konsep kita tentang siapa diri kita. Sampai-sampai sebagian kita kemudian berpikir tentang peluang dan kesempatan revolusi dari digital atas riset dan penelitian dalam hal kepingan-kepingan ingatan tersebut. Hal ini berangkat dari pengetahuan tentang manusia dan kepingan-kepingan ingatan tersebut yang pada akhirnya memunculkan penerapannya yang ambisius pada suatu penemuan di masa mendatang.


Terbentur pada Kaidah-kaidah Kemanusiaan Lainnya
Beberapa gelintir manusia lainnya selalu memandang bahwa kepingan-kepingan ingatan adalah merupakan salah satu anugerah dari Sang Pencipta yang diberikan pada salah satu makhluk-Nya, yakni manusia sebagai salah satu makhluk hidup yang mendiami dunia ini. Terdapat dalil yang menyebutkan bahwa ingatan merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Sang Khalik kepada sebentuk manusia. Manusia diperintahkan oleh Sang Khalik untuk menjaga ingatan tersebut dengan baik melalui perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan perintah-Nya dan dengan meninggalkan segala larangan-Nya. Kemudian manusia pun ditugaskan oleh Sang Penguasa Alam Semesta untuk selalu mengingatkan manusia lainnya dengan senantiasa mengingat-Nya melalui pengertian perintah dan larangan tersebut. Kepingan-kepingan inilah yang dituntut untuk selalu dijaga dan dipertahankan, mengingat Sang Pencipta.

Pada kesempatan yang lain, Sang Khalik mengancam bahwa seorang manusia dapat saja kehilangan segala kepingan-kepingan ingatannya pada saat manusia tersebut mencapai usia yang sudah tidak muda lagi. Bahwa Sang Pencipta memiliki hak yang luar biasa untuk "mencabut" segala kepingan ingatan yang pada awalnya dimiliki oleh seorang manusia, merupakan kekuasaan mutlak dari Sang Pencipta itu sendiri. Peringatan semacam ini telah kita temui pada beberapa masa dalam kehidupan kita, jika kita secara sadar memerhatikan apa-apa yang senantiasa terjadi pada orang-orang yang telah lebih dulu menjadi lebih berumur daripada kita.

Keberadaan kaidah-kaidah yang bersifat agamawi acapkali berbenturan dengan riset-riset dan penelitian-penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan. Riset dan penelitian "membutuhkan" keberanian dan keterbukaan dalam penerimaan logika yang terbentuk setelahnya, di sisi lain kaidah-kaidah agamawi juga membutuhkan keberanian untuk mempertahankan kebenaran atas ajaran-ajaran Sang Pencipta. Benturan keduanya sangat mungkin terjadi dan sangat mungkin pula untuk tidak terjadi sama sekali. Dan, ketika benturan terjadi, pilihanlah yang acapkali menjadi penentu. Juga tidak boleh dilupakan bahwa kepercayaan kepada Sang Pencipta di dalam diri seorang manusia tidaklah sama kadarnya pada masing-masing manusia itu sendiri. Itu berarti, "perlakuan" Sang Pencipta pun tentu tidak akan sama kadarnya pada masing-masing manusia. 


Titik Temu Ilmu Pengetahuan dan Kaidah-kaidah Sang Pencipta
Kita semestinya telah dapat menemukan sendiri "titik pertemuan" tersebut. Lebih dari sekedar pengamatan satu atau dua hari, ilmu pengetahuan sebagai pencapaian seorang manusia atau kaidah-kaidah agamawi sebagai tuntunan kehidupan manusia, seharusnya melahirkan sebuah kontemplasi yang pada akhirnya mencerahkan bagi manusia itu sendiri, bukan malah memburamkan segala pengertiannya pada tataran ahli maupun awam. Aspek lingkungan dan sifat individu yang mau membuka diri dengan sangat hati-hati terhadap segala perubahan di dalamnya adalah benar-benar perlu untuk diperhatikan. Agar jangan sampai nantinya seseorang terjebak pada salah satu pilihan yang sebenarnya merugikan manusia itu sendiri.

Kalau saja kepingan-kepingan ingatan tersebut dimanfaatkan untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari pada ingatan itu sendiri, niscaya kita akan berani untuk melupakan segala rasa sakit maupun rasa senang yang kita dapatkan dari perjalanan kita selama hidup di dunia ini, untuk kemudian hanya memikirkan dan lebih berani untuk mengingat kematian. Karena kematianlah pemutus segala kepingan-kepingan ingatan yang sangat ingin kita susun dengan rapih namun ternyata tetap hancur juga dengan kematian. Itulah sebuah pencapaian yang mencerahkan jika seorang manusia dengan mata dan hati yang terbuka, bersedia untuk selalu memerhatikan langkahnya sendiri. 






Bahan Bacaan
http://www.memoriesforlife.org/about.php


Wallahu'alam Wallahulmusta'an.
Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
22 Juli 2009.

Baca selanjutnya...

Selamat Datang Kembali dari Pengembaraanmu!

Suatu ketika seseorang bersikeras bahwa tidak selayaknya jas hitam dan dasi adalah satu-satunya tujuan di dalam pencapaian kehidupan. Namun, hal tersebut tidaklah serta-merta diterima dengan lapang dada, karena ternyata, memang jas dan dasi tersebut merupakan "measurement tool" atas diri seseorang di dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Setidaknya dengan jas dan dasi, dapat disebutlah seseorang yang dimaksud telah berada sejajar dengan kemajuan zaman dan pergaulan sosial yang lebih tinggi. Sehingga pada gilirannya menimbulkan perasaan senang dan bangga pada orang-orang yang berada di sekitarnya. Kita tidak akan merasa minder jika seseorang yang bersama kita adalah seseorang yang senantiasa mengenakan jas dan dasi sebagai "pakaian kebesarannya" sehari-hari, meskipun kita sendiri adalah masyarakat awam yang berpakaian sederhana saja. Beberapa pasang mata akan dengan mudah terpesona pada kepantasan luar biasa pada diri seseorang yang mengenakan jas hitam dan dasi.

Dengan gaya hidup luar biasa absurd di tengah-tengah masyarakat dunia ketiga yang menghidupi diri sendiri saja amburadul, pakaian jas hitam dan dasi adalah berlian yang sangat sulit dicari apalagi ditemukan. Namun, seperti juga ketidakmerataan pendapatan per kapita di negeri ini, jas dan dasi dapat ditemukan pada kota-kota besar tetapi tidak di desa-desa. Bukan perbincangan tentang pakaian, sebenarnya, jas dan dasi sangat mungkin mengubah pribadi dan karakter seseorang. Bagaimana hal ini dapat terlihat dan tampak begitu kentara adalah bahwa pengenaan jas dan dasi memiliki waktu dan tempat-tempat tertentu. Seperti juga acara-acara seremonial semua tingkatan sosial di dalam sebuah masyarakat, jas dan dasi adalah salah sebuah identitas resmi kaum aristokrat masa kini. Padahal di sisi lain, negeri ini memiliki ciri dan karakter sendiri di dalam membangun pencitraan diri melalui pakaian-pakaian yang lebih elegan tanpa adanya sedikitpun kesan primitif dan feodalisme. Beberapa dari kita mungkin telah merancang dan sedang membuat prototype jas dan dasi dengan cita rasa negeri sendiri. Dengan arahan tidak kehilangan jati diri karena mengenakan pakaian yang datang dari negeri asing, pakaian dan cara berpakaian anak-anak negeri diharapkan menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan mampu bersaing tanpa tergerus nilai-nilai kearifannya sendiri yang telah terbangun semenjak lama.

Telah terlihat dengan jelas dan tak ada lagi kerahasiaan, bahwa orang-orang di kota-kota besar amat sangat rentan pada sebuah ideologi atau pandangan hidup yang secara massif beredar di sana. Rasionalitas dituntut untuk selalu dikedepankan dan segala perhitungan atas waktu menjadi sesuatu yang sangat mutlak dan tak dapat ditawar-tawar lagi. Dan, pakaian semisal jas dan dasi adalah buntut dari rasionalitas yang ditanamkan oleh orang-orang negeri asing selain penanaman modal dan investasi lain tentunya. Sikap permisif terhadap cara berpakaian dikhawatirkan menjadi awal sikap yang permisif tanpa filtering atas gaya hidup yang terbawa melalui pakaian tersebut. Sebab, mengubah ideologi seseorang memang seharusnya dilakukan secara sedikit demi sedikit, kontinu, kemudian memolesnya dengan anggapan bahwa hal tersebut sebagai sebuah kemajuan bersama atas masyarakat dunia yang lebih global. Dan pakaian adalah awal mula yang luar biasa mudah tetapi amat mematikan.

Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan segera adalah: apakah kemajuan dan kesetaraan dengan negeri asing tersebut harus dibayar dengan sikap dan tingkah laku kita yang dulunya begitu arif dan bijaksana, menjadi terlalu permisif dan mengiyakan segala gaya hidup yang jelas-jelas terlihat sangat tidak sesuai dengan pandangan kita selama ini? Entahlah, jawaban tersebut selayaknyalah dijawab dengan tindakan dan perbuatan yang mencerminkan kemandirian seorang anak bangsa yang tidak menginginkan adanya penjajahan lagi, terlebih penjajahan dalam hal ideologi dan pandangan hidup.

Wallahu'alam Wallahulmusta'an.
Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
15 Juli 2009
Baca selanjutnya...

Surat Kepada Pemimpin Terpilih

Engkau telah mengatakan dengan benar bahwa sesungguhnya kejadian ini bukanlah seperti yang mereka persangkakan kepadamu. Aku pun menyadari bahwa sesungguhnya bukanlah semata-mata kemenangan itu yang menjadi tujuan kita, tetapi adalah sebuah proses yang menuju kepada sesuatu yang lebih mulia dan agung, itulah yang selama ini selalu menjadi cita-cita kita. Proses tersebut mengarah pada kenyataan bahwa kita memang benar-benar berjuang untuk sesuatu yang sangat pantas untuk diperjuangkan. Perjuangan untuk mempertahankan hak-hak paling azasi atas sejumlah besar manusia di negeri ini yang sedang kita saksikan terampas dengan semena-mena dan sayangnya tidak juga mereka sadari. Bila pun segala kesewenang-wenangan itu hadir di depan mata, maka tak ada jalan lain selain menghentikannya dengan segala daya upaya. Sekuat tenaga kita merelakan waktu, mengurangi tidur, mensedikitkan makanan ke dalam perut, adalah masih merupakan sejumput kecil usaha untuk sebuah proses yang sungguh sangat melelahkan ini.


Tindakan menyelamatkan orang banyak, sungguh tidak pernah terwujud dengan mudah. Setidaknya seseorang bahkan seringkali mengalami pengucilan yang luar biasa menyakitkan dari orang-orang yang hendak diselamatkannya. Aku tak hendak memberimu semangat agar kau terus-menerus berjuang demi orang banyak, aku hanya mencoba mengingatkanmu bahwa pada kenyataannya tidak pernah ada yang benar-benar berbuat demikian. Sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang bermanfaat dari apa yang dinamakan dengan perjuangan demi orang banyak, engkau harus selalu ingat bahwa seseorang sebenarnya tidak diperbolehkan berbuat demi orang banyak.

Seseorang sebenarnya haruslah selalu berbuat hanya demi Sang Khalik, namun, karena Sang Khalik memerintahkan para hamba-Nya untuk mampu mempertanggungjawabkan apa-apa yang telah dipimpinnya selama hidup di dunia, maka para hamba "memiliki cara tersendiri" agar mampu terselamatkan pada saat hamba tersebut bertemu dengan Sang Khalik. Itulah sebabnya mengapa ada sebagian hamba yang dengan sangat cerdas memanfaatkan kekuasaannya demi memperjuangkan orang banyak. Karena orang banyak tersebut akan menjadi saksi di hadapan Sang Khalik nanti, apakah ia telah diperlakukan dengan baik ataukah sebaliknya oleh pemimpinnya itu ketika di dunia. Yang pada akhirnya, akan meringankan ataukah malah memberatkan pertanggungan-jawab sang hamba yang menjadi pemimpin orang banyak tersebut dihadapan Sang Khalik. Di mana pada hari itu tidak akan ada alasan apapun yang dapat keluar dari mulut seorang hamba yang akan diterima oleh Sang Khalik selain dari perbuatan apa saja yang telah dilakukannya selama di dunia. Dan, proses pertanggungan-jawab seorang pemimpin sebagai hamba Sang Khalik adalah jauh lebih lama daripada orang banyak sebagai hamba.

Engkau tidak boleh takut ataupun ciut, jangan sekalipun lari sebagai pengecut, hatimu tidak boleh gentar, adalah biasa jika kemudian tubuhmu menjadi memar-memar. Seperti juga kebiasaan pemimpin-pemimpin besar yang selalu gigih dalam mengejar impiannya, engkau harus terus-menerus meneriakkan kebenaran di manapun engkau berada. Gunakan waktumu yang sungguh amat sangat singkat ini untuk meletakkan dasar-dasar kearifan di hati orang-orang banyak. Ajarkan kepada mereka pengetahuan tentang tanggung-jawab dan kedisiplinan serta keteguhan di dalam menjalankannya. Hindarkan orang banyak dari kebodohan yang membelenggu agar mereka senantiasa selalu mampu membedakan antara kebenaran dan kejahatan. Dan jangan sekali-kali engkau memanfaatkan kesetiaan mereka padamu demi kepentinganmu sendiri. Berhati-hatilah terhadap perasaan sombong dan angkuh yang akan senantiasa menyelimuti dirimu jika engkau lemah. Perasaan sombong tersebut acapkali tidak disadari karena datangnya bersamaan dengan sanjungan dan puji-pujian dari orang banyak. Engkau harus senantiasa menangis di kala sendirian pada malam hari atas kesalahan-kesalahan yang telah engkau lakukan, sebaliknya engkau harus senantiasa tersenyum dengan tulus di hadapan orang banyak pada siang hari agar mereka merasakan ketenangan ketika engkau berada di tengah-tengah mereka.

Di atas segalanya, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk selalu diingat, bahwasanya aku, engkau dan semua orang banyak yang dimaksud, pada suatu saat nanti akan dikembalikan kepada Sang Khalik Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan, sebagaimana yang terjadi pada saat perjanjian kita dengan-Nya sebelum kita semua berada di dunia ini.

Wallahu'alam Wallahulmusta'an.
Jalan Bacang, Jatipadang, Jakarta Selatan.
08 Juli 2009


Baca selanjutnya...

Teknologi dan Masyarakat Agraris

Abstrak

Dinamika sosial dipengaruhi tidak hanya oleh keadaan ekonomi dan kultur yang mulai meluntur. Dinamika sosial ternyata juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Ilmu pengetahuan dengan kekuatannya yang terletak pada sisi empirisnya, sering mengubah paradigma atau bahkan dogma yang telah begitu kuat melekat. Penemuan-penemuan di bidang teknologi sedikit banyak telah mampu menggeser keadaan sosial ke arah yang sering tidak terduga. Perubahan-perubahan sosial menemui keadaannya yang nyata ketika perkembangan teknologi begitu pesat terjadi.
Sebuah masyarakat yang tadinya begitu erat memegang kepercayaan kepada kaidah-kaidah primordialisme misalnya, dapat berubah pandangannya ketika dihadapkan pada kekuatan argumentasi dari ilmu pengetahuan yang paling bersifat filosofis, dengan analogi-analogi yang lebih meyakinkan dan lebih dapat diterima oleh akal sehat. Keadaan yang tak jauh berbeda terjadi pada bidang teknologi, sejumlah pekerjaan yang pada masa lalu tidak pernah ada dan sama sekali tidak terpikirkan, dengan adanya hasil teknologi, pekerjaan tersebut menjadi ada dan dapat dipertimbangkan sebagai sebuah mata pencaharian yang menjanjikan.


Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu, ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengunjungi Indonesia, ia menyebutkan tentang beberapa aspek penting yang sudah semestinya Indonesia kembangkan agar kemudian dapat terjalin kerjasama dalam bidang tersebut secara lebih erat. Salah satu aspek penting yang disebutkan adalah pengembangan bidang sains dan teknologi. Meski Hillary menyebutkan hal tersebut pada bagian yang terakhir dari keempat aspek penting seperti yang telah ia sebutkan sebelumnya, pengembangan sains dan teknologi tidak bisa dianggap remeh apalagi dianggap sebagai angin lalu.
Amerika Serikat sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang di bidang sains dan teknologi. Dimulai dari yang paling penting yaitu bahwa Revolusi Amerika bersamaan waktunya dengan Revolusi Industri di Inggris, sekitar tahun 1770. Begitu lepas dari kekuasaan Inggris, kebanyakan dari para pemimpin Amerika Serikat baru, meyakini bahwa pertumbuhan –khususnya pertumbuhan ekonomi- merupakan hal yang esensial untuk ketahanan bangsa. Untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjamin kemakmuran, ekonomi harus tumbuh. Pertumbuhan akan bergantung pada peningkatan populasi, tetapi secara sebanding dengan eksploitasi yang progresif atas sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam, pada gilirannya, terdefinisikan oleh teknologi yang tersedia untuk memanfaatkannya. Maka bangsa yang berkedudukan-kuat dan dapat sangat bertahan tergantung pada sebuah dasar teknologi yang sangat kuat. Lebih jauh lagi, dalam tulisan tahun 2003, geografer David Harvey menggarisbawahi fakta mendasar bahwa “lebih banyak riset dan pengembangan dunia telah dilakukan di A.S. Hal tersebut memberikan keuntungan teknologis yang terus menerus, dan membuat berat sebelah jalur global pada perubahan teknologis ke arah minatnya sendiri (khususnya yang dipusatkan pada kompleksitas industri-militer). Hal ini menyebabkan timbulnya aliran pembayaran teknologis dari sebagian dunia.” Namun, ia memperingatkan, bahwa “sementara A.S. memimpin dalam inovasi teknologi A.S. juga masih menyisakan persoalan penting (terima kasih yang sebesar-besarnya untuk universitas riset), terdapat banyak tanda bahwa hal tersebut merupakan kemunduran.” Ini merupakan sebuah peringatan yang telah sering terdengar selama setengah abad yang lalu, tetapi merupakan satu-satunya keadaan mendesak dalam kondisi globalisasi. (Pursell, The Machine in America: A Social History of Technology, 35-36 dan 338.)
Bangsa Indonesia, di sisi lain, sepertinya tidak mempunyai sejarah yang cukup menentukan di dalam pencapaian pada bidang sains dan teknologi, kecuali mungkin pada masa lampau, setidaknya sejak awal tahun 1960, terjadi pengembangan yang terus-menerus di bidang pertanian. (Hofsteede, “New technology and rural development: the social impact: Indonesia,” hal.72). Bidang tersebut telah disokong habis-habisan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Telah disadari begitu lama bahwa 42.1 % dari penduduk negeri Indonesia mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan agrikultur. Perkembangan teknologi pertanian mempunyai tempat yang cukup berkesan dan signifikan di mata penduduk Indonesia. Jalinan kerjasama pun telah sering dilakukan dengan beberapa negara yang menempatkan agraria sebagai fokus perhatiannya. Riset dan pengembangan di bidang pertanian setidaknya telah menjadi pertanda sejarah teknologi bagi sebagian besar penduduk Indonesia.


Sekilas tentang Teknologi pada Masyarakat Agraris
Suatu pengujian determinisme teknologis di dalam masyarakat agraris menjelaskan isu-isu yang seringkali digelapkan di dalam masyarakat industri sekarang ini. Masyarakat agraris sebenarnya tidak stagnan; mereka berkembang dan berubah seperti kita namun pada tingkatan laju yang lebih rendah. Perubahan lambat yang menjadi nyata selama berpuluh-puluh atau beratus-ratus tahun dan selama periode yang demikian kita dapat mencirikan kecenderungan jangka-panjang dari proses siklik dan kejutan acaknya. Di dalam dunia modern, implikasi penuh dari satu teknologi harus secara keras dengan mulai memainkan dirinya sendiri keluar sebelum sebuah teknologi baru muncul; mobil-mobil datang sebelum adanya akibat dari jalan kereta api yang telah menyebar di seluruh dunia, dan pesawat udara segera setelahnya. Kita dapat dengan lebih baik menguraikan pengaruh teknologi secara spesifik jika teknologi yang baru tidak tumpang tindih dengan yang lebih baru. (Perdue, “Technological Determinism in Agrarian Societies,” hal.171.)
Pandangan masyarakat industri terhadap masyarakat agraris seperti yang telah dikemukakan di atas merupakan hal yang wajar dan sah-sah saja. Kecederungan untuk menjadi sederhana di dalam kehidupan masyarakat agraris selalu saja terjadi dan telah mengakar kuat. Masyarakat agraris mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana menjalin hubungannya dengan alam tempat mereka hidup secara turun-temurun. Riset ilmiah yang telah mereka lakukan lebih merupakan hasil pengalaman dari orang-orang sebelumnya tentang bagaimana cara memperlakukan alam sekitarnya, bukan merupakan penelitian obyektif yang akan mengarah pada rekayasa sepertinya. Perubahan alam yang terjadi secara tiba-tiba misalnya, akan dianggap bahwa mereka telah bersalah kepada alam sehingga alam memberikan hukuman kepada mereka dengan merusakkan lahan mereka. Dan ketika hasil diperoleh secara melimpah dari alam, mereka akan melakukan kegiatan-kegiatan ritual sebagai ucapan rasa terima kasihnya kepada alam. Mereka sudah merasa cukup dengan hal-hal yang demikian. Maka dari itu, pencapaian atas hasil produksi pertanian akan dirasakan sangat lambat terjadi.
Namun kemudian persoalan muncul ketika populasi penduduk meningkat. Persoalan yang terjadi adalah bagaimana cara memberi makan mereka dan dan bagaimana memperbaiki standar hidup orang banyak. Maka dari itu, modernisasi agrikultur telah menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia yang secara jelas dinyatakan dalam program empat pelita (pembangunan lima tahun), tahun 1969-1989. Salah satu aspek modernisasi agrikultur adalah mekanisasinya. Namun, mekanisasi ini, memiliki permasalahan tersendiri di dalamnya. Pada satu sisi mekanisasi akan meningkatkan produktifitas. Pada sisi yang lain mekanisasi dapat mengakibatkan peningkatkan angka pengangguran, dan ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Pemerintah Indonesia mulai memasukkan teknologi baru ke dalam penanaman padi pada tahun 1950an dan dengan cara yang meningkat sejak 1960an, ketika rencana lima tahunan yang pertama dimulai.
Traktor kecil untuk bajak mekanik diperkenalkan pada tahun 1970an dan dengan cara yang akseleratif sejak rencana lima tahunan kedua (1974-79). (Hofsteede, “New Technology and Rural Development: The Social Impact: Indonesia,” hal.72).
Pada debat capres 2009 putaran ke-2 yang bertemakan “Kemiskinan dan Pengangguran” beberapa waktu yang lalu, capres Megawati Soekarnoputri sempat menyebutkan tentang pentingnya teknologi bagi para petani. Bukan perihal yang sekedar normatif atau berada di permukaan, satu-satunya capres perempuan tersebut menekankan perlunya pengetahuan tentang cuaca dan iklim bagi para petani. Betapa tidak, pengetahuan tentang perubahan cuaca dan iklim akan sangat bermanfaat bagi para petani utamanya dalam hal strategi para petani mengenai musim menanam, musim memanen, masa mengolah dan lain-lain yang mengharuskan para petani mengetahuinya secara jelas. Pengetahuan tentang cuaca dan iklim merupakan hasil/perangkat teknologi yang paling signifikan bagi keberadaan umat manusia di muka bumi ini. Pentingnya teknologi tersebut harus dapat dirasakan manfaatnya oleh para petani di Indonesia agar tidak terjadi kesalahan pada saat memanfaatkan lahan pertanian miliknya. Pada akhirnya, dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dapat memberikan manfaat yang luar biasa besar bagi para petani di Indonesia.
Lain halnya dengan kearifan lokal yang sering terdengar akhir-akhir ini menyoal post-modernisme pada negara berkembang, teknologi sesungguhnya dapat saja berjalan beriringan dengan harmonis di negara agraris. Kearifan lokal sesungguhnya telah terbangun kuat dalam masyarakat agraris sejak lama, namun baru disadari akhir-akhir ini karena perbedaan pandangan ilmiah antara masyarakat modern dan masyarakat agraris. Ketika masyarakat modern sudah mulai menyadari bahwa hubungannya dengan alam sekitar haruslah bersinergi, masyarakat agraris sudah memahaminya jauh sebelum itu. Masyarakat agraris, secara sadar ataupun tidak, telah memafhumi bahwa manusia tidak semestinya bersikap semena-mena terhadap alam sekitarnya dengan alasan teknologis sekalipun. Namun, dengan merebaknya isu-isu tentang perubahan iklim global, masyarakat agraris menjadi seperti kehilangan arah informasi dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Di sinilah pentingnya teknologi informasi tentang perubahan iklim bagi masyarakat agraris. Asal saja teknologi diberlakukan secara tepat guna, kesejahteraan pada masyarakat agraris menjadi suatu keniscayaan yang tak terelakkan. Hal ini semestinya menjadi kesadaran bersama seluruh anak bangsa karena kearifan lokalnya sendiri telah bersemayam dengan indah di relung hati masyarakat agraris.

Persoalan yang Sebenarnya
Perihal yang harus dilakukan hanyalah menempatkan teknologi yang sesuai dengan kearifan lokal yang telah ada. Karena bagaimanapun, teknologi yang pada tempatnya selalu menempatkan pelakunya pada tempat yang benar. Namun, persoalan kembali mengemuka pada beberapa waktu yang lalu, ketika pemerintah Indonesia memberikan pengarahan kepada para petani untuk kembali menggunakan pupuk kandang guna mengatasi kelangkaan pupuk kimiawi yang selama ini telah digunakan secara luas di kalangan masyarakat agraris. Para petani mengalami keterkejutan yang sangat hebat.
Di beberapa daerah, mereka mengeluhkan tentang penyuluhan yang demikian, karena pada saat ini mereka telah terbiasa dengan penggunaan pupuk non-organik, mereka sudah beralih dari pupuk kandang sekarang. Jika mereka diminta untuk kembali menggunakan pupuk kandang, mereka tidak akan mampu melakukannya lagi. Para petani harus menyisakan tenaga dan perhatian yang lebih ke dalam bidang peternakan untuk mendapatkan pupuk kandang, sedangkan fokus mereka sudah tidak lagi pada bidang tersebut. Persoalan lain adalah bahwa para petani sudah tidak lagi memiliki akses ke dalam penyediaan pupuk kandang setelah lama mereka tinggalkan. Untuk mendapatkan pupuk kandang yang jumlahnya memang sangat terbatas, mereka harus pergi ke tempat-tempat yang jauh dari lahan pertaniannya sendiri. Dan hal yang demikian sangatlah tidak efektif dan jauh dari efisiensi bagi para petani. Penggunaan pupuk kandang lagi pada akhirnya membutuhkan dana yang malah jauh lebih besar daripada penggunaan pupuk kimiawi.

Sebagian dari Perencanaan
Salah satu di antara usulan perluasan kebijakan pertanian di Amerika Serikat untuk tahun enam puluhan adalah pendidikan dan riset pertanian. Keadaannya memang sangat berbeda antara negeri Paman Sam tersebut dengan Indonesia saat ini. Karena pada tahun lima puluhan Amerika Serikat mengalami surplus hasil pertanian. Namun, pengendalian pemerintah terhadap pihak swasta dalam bidang pertanian semestinya menjadi pertimbangan tersendiri bagi bangsa Indonesia sebagai suatu pembelajaran.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, investasi publik di dalam pendidikan dan riset agrikultural telah menjadi faktor utama pada kenaikan hasil pertanian. Akan menjadi logis untuk mengurangi investasi tersebut dengan kebijakan pengendalian atas produksi pertanian.
Namun, riset bukanlah suatu sumber daya yang siap diatur pada produksi. Bahkan jika riset dihentikan saat ini, teknologi yang baru akan terus mengalir menggantikan riset lama untuk beberapa tahun mendatang. Pada saat penghentian riset mulai berpengaruh, kebutuhan negara mungkin sudah akan berubah.
Di samping itu, meskipun investasi publik merupakan penggerak utama atas kemajuan pesat dalam produktivitas agrikultural, sampai jumlah tertentu kemajuan tersebut sekarang menjadi mandiri melalui industri swasta. Bahan kimia, peralatan pertanian, dan industri penyedia-pertanian lainnya mempunyai kemampuan untuk meneruskan pendidikan dan risetnya sendiri. Memotong investasi publik dalam riset dan pendidikan agrikultural sebanyak setengahnya pun mungkin tidak akan mengurangi masukan dari teknologi baru pada agrikultur.
Fasilitas publik untuk pendidikan dan riset dalam pertanian harus difokuskan secara lebih tajam pada permasalahan kemiskinan pedesaan.
Tugas utamanya adalah memfasilitasi perpindahan masyarakat yang keluar dari bertani menuju pekerjaan produktif di pabrik-pabrik, perdagangan dan jasa. Kadang-kadang hal ini berarti mengembangkan pekerjaan di daerah yang kelebihan tenaga kerja pertanian. Untuk mereka yang tetap tinggal dalam bertani, bantuan teknis, modal dan lebih banyak lahan tetap diperlukan guna menjadikan mereka petani yang produktif.
Dalam hal ini, terdapat pengetahuan yang perlu dipertimbangkan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Pemerintah harus melaksanakan misi untuk menolong masyarakat pertanian ke dalam pekerjaan lain- dengan pinjaman, dana bantuan, penyuluhan, pelatihan kerja dll. Penugasannya saat ini adalah secara keseluruhan menyediakan kredit dan bantuan teknis untuk menolong para petani miskin menjadi lebih produktif dan untuk tetap berada di bidang pertanian. (Soth, “Farm Policy for The Sixties,” hal.218-219).

Sedikit Dampak Sosial
Dampak sosial dari teknologi terhadap masyarakat agraris seperti ketika pertama kalinya diterapkan mekanisasi pertanian di Indonesia yang telah disebutkan oleh Hofsteede adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kebergantungan pemerintah desa terhadap pemerintah provinsi dan nasional.
2. Peningkatan jurang antara keluarga yang strata sosialnya lebih tinggi dan keluarga yang strata sosialnya lebih rendah.
3. Peningkatan orientasi terhadap kota bersamaan dengan peningkatan komersialisasi pada keluarga yang stratanya lebih tinggi.
4. Menumbuhkan ketidakbergantungan keluarga yang strata sosialnya lebih tinggi dari pemerintahan kampung; suatu elit ekonomi baru sedang muncul.
5. Peningkatan kebergantungan strata yang lebih rendah terhadap kota untuk mencari pekerjaan dan memperoleh penghasilan.
6. Peningkatan saling ketergantungan antara semua strata di desa dan kota.
7. Penurunan partisipasi di dalam upacara-upacara masyarakat tradisional, pergaulan dan kegiatan saling menolong merefleksikan perubahan tersebut.
8. Sebuah tren bahwa keluarga menghabiskan sedikit saat ini berkaitan dalam upacara-upacara dan kegiatan keluarga.

Perubahan sosial yang terjadi sekitar dua puluhan tahun silam di Indonesia tersebut, sedikit banyak telah memberikan gambaran umum untuk keadaan teknologi pertanian Indonesia pada saat ini. Namun, tidaklah semestinya dilupakan bahwa sekarang ini sedang terjadi perubahan global di segala bidang termasuk di dalamnya bidang sains dan teknologi yang juga akan berdampak pada keadaan sosial pada masyarakat agraris. Ke arah mana perubahan tersebut adalah pertanyaan yang harus diselesaikan secara bersama-sama oleh seluruh anak bangsa. Pemerintah, ilmuwan, petani, swasta pemilik modal, perusahaan agrikultur sampai para pegawai yang serendah-rendahnya serta seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu memperbaiki kesejahteraan tanah agraris yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia.


Simpulan dan Saran

Simpulan
• Teknologi pada masyarakat agraris mempunyai ciri yang khas dibandingkan dengan masyarakat modern.
• Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan masyarakat agraris merupakan hal yang mendesak dan perlu dilaksanakan dengan segera.
• Dampak sosial dari teknologi terhadap masyarakat agraris tampak secara nyata sampai pada tingkatan keluarga dan individu.
• Pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar di dalam segala kebijakannya terhadap masyarakat agraris.
Saran
• Perubahan sekecil apapun dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus sudah disadari oleh setiap penduduk di dalam masyarakat agraris agar nantinya pada saat memutuskan tindak-lanjut apa yang akan diambil dapat terlaksana secara cepat dan tepat.
• Perhatian pemerintah atas bidang teknologi maupun bidang pertanian harus disikapi dengan arif dan bijaksana dengan pengertian tidak boleh berat sebelah.
• Kesejahteraan dan kearifan lokal masyarakat agraris melalui teknologi sebagai media di antara keduanya harus terus dipertahankan agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan kepada teknologi yang tepat guna.
• Tanpa bermaksud untuk membela kepentingan teknologi di satu sisi, masyarakat agraris seperti di Indonesia sangat membutuhkan teknologi untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi dengan mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang telah ada sejak lama.


Bibliography

Perdue, Peter C. “Technological Determinism in Agrarian Societies.” dalam Does Technology Drive History?: The Dilemma of Technological Determinism, editasi oleh Merritt Roe Smith dan Leo Marx, hal.171. Cambridge, Massachusetts: MIT Press, 1998.
Pursell, Carrol. The Machine in America: A Social History of Technology. Edisi ke-2. Baltimore: The Johns Hopkins University Press:2007.
Hofsteede, W.M.F. “Indonesia.” dalam New Technology and Rural Development: The Social Impact, editasi oleh M.J. Campbell, The Association of Development Research and Training Institutions of Asia and the Pacific (ADIPA) hal.72 dan 110-111. New York: Routledge, 1990.
Soth, Lauren K. “Farm Policy for The Sixties.” dalam Goals for Americans: comprising The Report of the President’s Comission on National Goals and Chapters Submitted for the Consideration of the Commision, hal.218-219. The American Assembly Columbia University, A Spectrum Book, Prentice-Hall, Inc., 1960.
The World Factbooks. https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html. Indonesia. (diakses 23 Juni 2009)



Jalan Bacang, Jatipadang, Jakarta Selatan
29 Juni 2009
Baca selanjutnya...

Di Antara Repihan-Repihan Kekuasaan

Pernah berkuasa atau tidak pernah berkuasa, sepertinya merupakan sesuatu yang sangat penting dan lebih diutamakan. Pengalaman adalah guru yang paling baik, begitu kurang lebihnya kata pepatah. Betapa sebuah pengalaman telah menjadikan seseorang begitu hebat dan dipercayai oleh orang banyak. Bukan pula sebuah bualan, bahwa dengan berpengalaman berarti akan berpeluang lebih besar untuk langgeng berkuasa. Telah dimafhumi dengan baik pula bahwa hanya dengan sebuah pengalamanlah, seseorang akan sangat berhak dan mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bekerja dan mengeluarkan segala isi pikirannya. Dengan lebih bebas dan tanpa tekanan dari siapapun.

Permasalahan yang kemudian timbul adalah rasa suka yang luar biasa berlebih-lebihan yang ada pada diri seseorang yang sedang berkuasa. Ia jadi begitu mencintai kekuasaannya sampai-sampai ia enggan untuk melepaskannya. Perbuatan yang akan dilakukannya hanyalah demi melanggengkan kekuasaannya. Ia akan berbuat baik hanya agar diprasangkai baik, maka ia bisa terus berkuasa dan ia pun akan berbuat kejahatan dengan menyebutkannya sebagai perbuatan yang baik untuk membuat dirinya tetap berada di dalam kekuasaan. Dan hal yang demikian, nampaknya tidak begitu baik untuk sebuah masyarakat yang menghendaki kebebasan dan kemerdekaan.

Kata "berlebih-lebihan" inilah yang patut untuk diperhatikan, terlebih jika dikaitkan dengan sebuah kekuasaan. Begitu peliknya definisi kekuasaan sampai-sampai mungkin seseorang seharusnya menanyakan dari mana kekuasaan itu didapat dan untuk apa kekuasaan tersebut digunakan. Pada keseharian yang ditemui, sebuah kekuasaan adalah sebuah pencapaian, berbeda dengan beberapa waktu silam yang masih didapati bahwasanya sebuah kekuasaan datang dengan sendirinya atau lebih merupakan sebuah keberuntungan. Terdapat perbedaan yang signifikan tentang dari mana kekuasaan yang didapat. Jika kekuasaan didapat dari sebuah pancapaian maka akan ada kegigihan di dalam penggunaannya, namun jika kekuasaan didapat dari suatu keberuntungan maka akan cenderung lebih santai dan penuh dengan kepasrahan. Dan tidak ada yang salah pada kedua-duanya, kecuali jika yang terjadi adalah keadaan yang berlebih-lebihan di dalam penggunaannya. Berlebih-lebihan dalam kekuasaan hanya akan membawa pelakunya ke arah kehancuran.

Menjadi repihan-repihan kekuasaan adalah jauh lebih menyakitkan daripada tidak pernah berkuasa sama sekali. Kepingan-kepingan ingatan ketika sebuah kekuasaan berada dalam genggaman akan selalu terbayang dan menghantui "mantan" pemegang kekuasaan. Hantu ingatan tersebut mau tidak mau harus dihadapi. Bagaimana cara menghadapinya? Itulah yang paling penting untuk dipikirkan. Jawabannya hanyalah sebentuk kepasrahan kepada Pemilik Kekuasaan yang Abadi. Ia (Sang Pemilik Kekuasaan yang Hakiki) menjadi tujuan atas segala maksud seseorang pada sebuah kekuasaan. Dari mana dan untuk apa sebuah kekuasaan, hanya akan terjawab dengan tingkah laku dan tindakan penguasa yang terlihat dan dirasakan oleh orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya.
Maka tak akan ada jalan untuk sebuah pengkhianatan atas sebuah kekuasaan. Dan tanggung-jawab di hadapan rakyat adalah berat, tetapi tanggung-jawab di hadapan Tuhan jauh lebih berat.

Wallahu'alam Wallahulmusta'an.
Jalan Bacang, Jatipadang, Jakarta Selatan
25 Juni 2009

Baca selanjutnya...

Mengetahui Perbedaan Dengan Jelas Belum Tentu Mengambil Tindakan yang Nyata

Sudah semestinya, terlintas dalam pikiran seseorang tentang kesetaraan atas tiap-tiap keadaan maupun masing-masing kejadian. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa ketimpangan pada akhirnya, selalu saja berujung pada sebuah perpecahan. Tidak sedikit keutuhan yang hancur berantakan bermula dari adanya ketidaksetaraan yang benar-benar terlihat dan memasyarakat; yang benar-benar menjadikan dendam yang tak mau padam pada hati dan pikiran salah satu pihak. Seperti juga sebuah bom waktu, ketimpangan atau ketidaksetaraan dapat meledak kapan saja, dan ledakannya akan meluluhlantakkan siapapun, baik yang merasa dirugikan oleh ketidaksetaraan maupun yang tengah diuntungkan oleh ketidaksetaraan tersebut.

Akan tetapi, kesetaraan yang tidak disertai dengan pemahaman yang benar tentang; takdir dan usaha, hak dan kewajiban, kerja dan imbalan, dan lain sebagainya yang serupa dengan perihal tersebut, adalah kesetaraan yang masih bersifat sangat subjektif. Adalah terlalu memikirkan diri sendiri jika seseorang meneriakkan kesetaraan hanya karena adanya perasaan ingin sama dengan orang lain dalam hal; pendidikan, kekayaan, status sosial dan keterkenalan. Kesetaraan yang demikian hanya merupakan fantasi dan akan tetap menjadi fantasi yang tak akan pernah terwujudkan selamanya. Kesetaraan yang demikian adalah khayalan yang mendustakan keadaan yang sebenarnya dalam dunia nyata.

Bahwasanya kesetaraan yang selalu berkorespondensi pada kesadaran diri sendiri terhadap lingkungannya adalah kesetaraan dalam artiannya yang sangat sejati. Kesadaran akan siapa diri kita dan siapa diri selain kita. Kesadaran akan di mana diri kita dan di mana diri selain kita. Sebuah kesadaran untuk menerima segala kekurangan dan segala kelebihannya. Dengan demikian kesetaraan akan berada pada tempatnya yang benar dan membenarkan. Kesetaraan dengan kesadaran yang demikian akan menemukan bentuknya yang paling positif dan meneduhkan bagi siapapun juga.

Wallahu’alam Wallahulmusta’an.
Jalan Bacang, Jatipadang, Jakarta Selatan.
20 Juni 2009

Baca selanjutnya...

About

muhadzis
Ever been very fond for outdoor activities, had been desperately in acting practices, had written poems, and had finished degree in medical physics ... today, honestly I just want to be a servant of the most loved by Allah 'Azza wa Jalla. Amen.
Lihat profil lengkapku

Twitter Updates

    follow me on Twitter