Sudah semestinya, terlintas dalam pikiran seseorang tentang kesetaraan atas tiap-tiap keadaan maupun masing-masing kejadian. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa ketimpangan pada akhirnya, selalu saja berujung pada sebuah perpecahan. Tidak sedikit keutuhan yang hancur berantakan bermula dari adanya ketidaksetaraan yang benar-benar terlihat dan memasyarakat; yang benar-benar menjadikan dendam yang tak mau padam pada hati dan pikiran salah satu pihak. Seperti juga sebuah bom waktu, ketimpangan atau ketidaksetaraan dapat meledak kapan saja, dan ledakannya akan meluluhlantakkan siapapun, baik yang merasa dirugikan oleh ketidaksetaraan maupun yang tengah diuntungkan oleh ketidaksetaraan tersebut.
Akan tetapi, kesetaraan yang tidak disertai dengan pemahaman yang benar tentang; takdir dan usaha, hak dan kewajiban, kerja dan imbalan, dan lain sebagainya yang serupa dengan perihal tersebut, adalah kesetaraan yang masih bersifat sangat subjektif. Adalah terlalu memikirkan diri sendiri jika seseorang meneriakkan kesetaraan hanya karena adanya perasaan ingin sama dengan orang lain dalam hal; pendidikan, kekayaan, status sosial dan keterkenalan. Kesetaraan yang demikian hanya merupakan fantasi dan akan tetap menjadi fantasi yang tak akan pernah terwujudkan selamanya. Kesetaraan yang demikian adalah khayalan yang mendustakan keadaan yang sebenarnya dalam dunia nyata.
Bahwasanya kesetaraan yang selalu berkorespondensi pada kesadaran diri sendiri terhadap lingkungannya adalah kesetaraan dalam artiannya yang sangat sejati. Kesadaran akan siapa diri kita dan siapa diri selain kita. Kesadaran akan di mana diri kita dan di mana diri selain kita. Sebuah kesadaran untuk menerima segala kekurangan dan segala kelebihannya. Dengan demikian kesetaraan akan berada pada tempatnya yang benar dan membenarkan. Kesetaraan dengan kesadaran yang demikian akan menemukan bentuknya yang paling positif dan meneduhkan bagi siapapun juga.
Wallahu’alam Wallahulmusta’an.
Jalan Bacang, Jatipadang, Jakarta Selatan.
20 Juni 2009
Akan tetapi, kesetaraan yang tidak disertai dengan pemahaman yang benar tentang; takdir dan usaha, hak dan kewajiban, kerja dan imbalan, dan lain sebagainya yang serupa dengan perihal tersebut, adalah kesetaraan yang masih bersifat sangat subjektif. Adalah terlalu memikirkan diri sendiri jika seseorang meneriakkan kesetaraan hanya karena adanya perasaan ingin sama dengan orang lain dalam hal; pendidikan, kekayaan, status sosial dan keterkenalan. Kesetaraan yang demikian hanya merupakan fantasi dan akan tetap menjadi fantasi yang tak akan pernah terwujudkan selamanya. Kesetaraan yang demikian adalah khayalan yang mendustakan keadaan yang sebenarnya dalam dunia nyata.
Bahwasanya kesetaraan yang selalu berkorespondensi pada kesadaran diri sendiri terhadap lingkungannya adalah kesetaraan dalam artiannya yang sangat sejati. Kesadaran akan siapa diri kita dan siapa diri selain kita. Kesadaran akan di mana diri kita dan di mana diri selain kita. Sebuah kesadaran untuk menerima segala kekurangan dan segala kelebihannya. Dengan demikian kesetaraan akan berada pada tempatnya yang benar dan membenarkan. Kesetaraan dengan kesadaran yang demikian akan menemukan bentuknya yang paling positif dan meneduhkan bagi siapapun juga.
Wallahu’alam Wallahulmusta’an.
Jalan Bacang, Jatipadang, Jakarta Selatan.
20 Juni 2009
0 comments:
Posting Komentar