Teknologi dan Masyarakat Agraris

Abstrak

Dinamika sosial dipengaruhi tidak hanya oleh keadaan ekonomi dan kultur yang mulai meluntur. Dinamika sosial ternyata juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Ilmu pengetahuan dengan kekuatannya yang terletak pada sisi empirisnya, sering mengubah paradigma atau bahkan dogma yang telah begitu kuat melekat. Penemuan-penemuan di bidang teknologi sedikit banyak telah mampu menggeser keadaan sosial ke arah yang sering tidak terduga. Perubahan-perubahan sosial menemui keadaannya yang nyata ketika perkembangan teknologi begitu pesat terjadi.
Sebuah masyarakat yang tadinya begitu erat memegang kepercayaan kepada kaidah-kaidah primordialisme misalnya, dapat berubah pandangannya ketika dihadapkan pada kekuatan argumentasi dari ilmu pengetahuan yang paling bersifat filosofis, dengan analogi-analogi yang lebih meyakinkan dan lebih dapat diterima oleh akal sehat. Keadaan yang tak jauh berbeda terjadi pada bidang teknologi, sejumlah pekerjaan yang pada masa lalu tidak pernah ada dan sama sekali tidak terpikirkan, dengan adanya hasil teknologi, pekerjaan tersebut menjadi ada dan dapat dipertimbangkan sebagai sebuah mata pencaharian yang menjanjikan.


Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu, ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengunjungi Indonesia, ia menyebutkan tentang beberapa aspek penting yang sudah semestinya Indonesia kembangkan agar kemudian dapat terjalin kerjasama dalam bidang tersebut secara lebih erat. Salah satu aspek penting yang disebutkan adalah pengembangan bidang sains dan teknologi. Meski Hillary menyebutkan hal tersebut pada bagian yang terakhir dari keempat aspek penting seperti yang telah ia sebutkan sebelumnya, pengembangan sains dan teknologi tidak bisa dianggap remeh apalagi dianggap sebagai angin lalu.
Amerika Serikat sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang di bidang sains dan teknologi. Dimulai dari yang paling penting yaitu bahwa Revolusi Amerika bersamaan waktunya dengan Revolusi Industri di Inggris, sekitar tahun 1770. Begitu lepas dari kekuasaan Inggris, kebanyakan dari para pemimpin Amerika Serikat baru, meyakini bahwa pertumbuhan –khususnya pertumbuhan ekonomi- merupakan hal yang esensial untuk ketahanan bangsa. Untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjamin kemakmuran, ekonomi harus tumbuh. Pertumbuhan akan bergantung pada peningkatan populasi, tetapi secara sebanding dengan eksploitasi yang progresif atas sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam, pada gilirannya, terdefinisikan oleh teknologi yang tersedia untuk memanfaatkannya. Maka bangsa yang berkedudukan-kuat dan dapat sangat bertahan tergantung pada sebuah dasar teknologi yang sangat kuat. Lebih jauh lagi, dalam tulisan tahun 2003, geografer David Harvey menggarisbawahi fakta mendasar bahwa “lebih banyak riset dan pengembangan dunia telah dilakukan di A.S. Hal tersebut memberikan keuntungan teknologis yang terus menerus, dan membuat berat sebelah jalur global pada perubahan teknologis ke arah minatnya sendiri (khususnya yang dipusatkan pada kompleksitas industri-militer). Hal ini menyebabkan timbulnya aliran pembayaran teknologis dari sebagian dunia.” Namun, ia memperingatkan, bahwa “sementara A.S. memimpin dalam inovasi teknologi A.S. juga masih menyisakan persoalan penting (terima kasih yang sebesar-besarnya untuk universitas riset), terdapat banyak tanda bahwa hal tersebut merupakan kemunduran.” Ini merupakan sebuah peringatan yang telah sering terdengar selama setengah abad yang lalu, tetapi merupakan satu-satunya keadaan mendesak dalam kondisi globalisasi. (Pursell, The Machine in America: A Social History of Technology, 35-36 dan 338.)
Bangsa Indonesia, di sisi lain, sepertinya tidak mempunyai sejarah yang cukup menentukan di dalam pencapaian pada bidang sains dan teknologi, kecuali mungkin pada masa lampau, setidaknya sejak awal tahun 1960, terjadi pengembangan yang terus-menerus di bidang pertanian. (Hofsteede, “New technology and rural development: the social impact: Indonesia,” hal.72). Bidang tersebut telah disokong habis-habisan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Telah disadari begitu lama bahwa 42.1 % dari penduduk negeri Indonesia mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan agrikultur. Perkembangan teknologi pertanian mempunyai tempat yang cukup berkesan dan signifikan di mata penduduk Indonesia. Jalinan kerjasama pun telah sering dilakukan dengan beberapa negara yang menempatkan agraria sebagai fokus perhatiannya. Riset dan pengembangan di bidang pertanian setidaknya telah menjadi pertanda sejarah teknologi bagi sebagian besar penduduk Indonesia.


Sekilas tentang Teknologi pada Masyarakat Agraris
Suatu pengujian determinisme teknologis di dalam masyarakat agraris menjelaskan isu-isu yang seringkali digelapkan di dalam masyarakat industri sekarang ini. Masyarakat agraris sebenarnya tidak stagnan; mereka berkembang dan berubah seperti kita namun pada tingkatan laju yang lebih rendah. Perubahan lambat yang menjadi nyata selama berpuluh-puluh atau beratus-ratus tahun dan selama periode yang demikian kita dapat mencirikan kecenderungan jangka-panjang dari proses siklik dan kejutan acaknya. Di dalam dunia modern, implikasi penuh dari satu teknologi harus secara keras dengan mulai memainkan dirinya sendiri keluar sebelum sebuah teknologi baru muncul; mobil-mobil datang sebelum adanya akibat dari jalan kereta api yang telah menyebar di seluruh dunia, dan pesawat udara segera setelahnya. Kita dapat dengan lebih baik menguraikan pengaruh teknologi secara spesifik jika teknologi yang baru tidak tumpang tindih dengan yang lebih baru. (Perdue, “Technological Determinism in Agrarian Societies,” hal.171.)
Pandangan masyarakat industri terhadap masyarakat agraris seperti yang telah dikemukakan di atas merupakan hal yang wajar dan sah-sah saja. Kecederungan untuk menjadi sederhana di dalam kehidupan masyarakat agraris selalu saja terjadi dan telah mengakar kuat. Masyarakat agraris mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana menjalin hubungannya dengan alam tempat mereka hidup secara turun-temurun. Riset ilmiah yang telah mereka lakukan lebih merupakan hasil pengalaman dari orang-orang sebelumnya tentang bagaimana cara memperlakukan alam sekitarnya, bukan merupakan penelitian obyektif yang akan mengarah pada rekayasa sepertinya. Perubahan alam yang terjadi secara tiba-tiba misalnya, akan dianggap bahwa mereka telah bersalah kepada alam sehingga alam memberikan hukuman kepada mereka dengan merusakkan lahan mereka. Dan ketika hasil diperoleh secara melimpah dari alam, mereka akan melakukan kegiatan-kegiatan ritual sebagai ucapan rasa terima kasihnya kepada alam. Mereka sudah merasa cukup dengan hal-hal yang demikian. Maka dari itu, pencapaian atas hasil produksi pertanian akan dirasakan sangat lambat terjadi.
Namun kemudian persoalan muncul ketika populasi penduduk meningkat. Persoalan yang terjadi adalah bagaimana cara memberi makan mereka dan dan bagaimana memperbaiki standar hidup orang banyak. Maka dari itu, modernisasi agrikultur telah menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia yang secara jelas dinyatakan dalam program empat pelita (pembangunan lima tahun), tahun 1969-1989. Salah satu aspek modernisasi agrikultur adalah mekanisasinya. Namun, mekanisasi ini, memiliki permasalahan tersendiri di dalamnya. Pada satu sisi mekanisasi akan meningkatkan produktifitas. Pada sisi yang lain mekanisasi dapat mengakibatkan peningkatkan angka pengangguran, dan ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Pemerintah Indonesia mulai memasukkan teknologi baru ke dalam penanaman padi pada tahun 1950an dan dengan cara yang meningkat sejak 1960an, ketika rencana lima tahunan yang pertama dimulai.
Traktor kecil untuk bajak mekanik diperkenalkan pada tahun 1970an dan dengan cara yang akseleratif sejak rencana lima tahunan kedua (1974-79). (Hofsteede, “New Technology and Rural Development: The Social Impact: Indonesia,” hal.72).
Pada debat capres 2009 putaran ke-2 yang bertemakan “Kemiskinan dan Pengangguran” beberapa waktu yang lalu, capres Megawati Soekarnoputri sempat menyebutkan tentang pentingnya teknologi bagi para petani. Bukan perihal yang sekedar normatif atau berada di permukaan, satu-satunya capres perempuan tersebut menekankan perlunya pengetahuan tentang cuaca dan iklim bagi para petani. Betapa tidak, pengetahuan tentang perubahan cuaca dan iklim akan sangat bermanfaat bagi para petani utamanya dalam hal strategi para petani mengenai musim menanam, musim memanen, masa mengolah dan lain-lain yang mengharuskan para petani mengetahuinya secara jelas. Pengetahuan tentang cuaca dan iklim merupakan hasil/perangkat teknologi yang paling signifikan bagi keberadaan umat manusia di muka bumi ini. Pentingnya teknologi tersebut harus dapat dirasakan manfaatnya oleh para petani di Indonesia agar tidak terjadi kesalahan pada saat memanfaatkan lahan pertanian miliknya. Pada akhirnya, dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dapat memberikan manfaat yang luar biasa besar bagi para petani di Indonesia.
Lain halnya dengan kearifan lokal yang sering terdengar akhir-akhir ini menyoal post-modernisme pada negara berkembang, teknologi sesungguhnya dapat saja berjalan beriringan dengan harmonis di negara agraris. Kearifan lokal sesungguhnya telah terbangun kuat dalam masyarakat agraris sejak lama, namun baru disadari akhir-akhir ini karena perbedaan pandangan ilmiah antara masyarakat modern dan masyarakat agraris. Ketika masyarakat modern sudah mulai menyadari bahwa hubungannya dengan alam sekitar haruslah bersinergi, masyarakat agraris sudah memahaminya jauh sebelum itu. Masyarakat agraris, secara sadar ataupun tidak, telah memafhumi bahwa manusia tidak semestinya bersikap semena-mena terhadap alam sekitarnya dengan alasan teknologis sekalipun. Namun, dengan merebaknya isu-isu tentang perubahan iklim global, masyarakat agraris menjadi seperti kehilangan arah informasi dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Di sinilah pentingnya teknologi informasi tentang perubahan iklim bagi masyarakat agraris. Asal saja teknologi diberlakukan secara tepat guna, kesejahteraan pada masyarakat agraris menjadi suatu keniscayaan yang tak terelakkan. Hal ini semestinya menjadi kesadaran bersama seluruh anak bangsa karena kearifan lokalnya sendiri telah bersemayam dengan indah di relung hati masyarakat agraris.

Persoalan yang Sebenarnya
Perihal yang harus dilakukan hanyalah menempatkan teknologi yang sesuai dengan kearifan lokal yang telah ada. Karena bagaimanapun, teknologi yang pada tempatnya selalu menempatkan pelakunya pada tempat yang benar. Namun, persoalan kembali mengemuka pada beberapa waktu yang lalu, ketika pemerintah Indonesia memberikan pengarahan kepada para petani untuk kembali menggunakan pupuk kandang guna mengatasi kelangkaan pupuk kimiawi yang selama ini telah digunakan secara luas di kalangan masyarakat agraris. Para petani mengalami keterkejutan yang sangat hebat.
Di beberapa daerah, mereka mengeluhkan tentang penyuluhan yang demikian, karena pada saat ini mereka telah terbiasa dengan penggunaan pupuk non-organik, mereka sudah beralih dari pupuk kandang sekarang. Jika mereka diminta untuk kembali menggunakan pupuk kandang, mereka tidak akan mampu melakukannya lagi. Para petani harus menyisakan tenaga dan perhatian yang lebih ke dalam bidang peternakan untuk mendapatkan pupuk kandang, sedangkan fokus mereka sudah tidak lagi pada bidang tersebut. Persoalan lain adalah bahwa para petani sudah tidak lagi memiliki akses ke dalam penyediaan pupuk kandang setelah lama mereka tinggalkan. Untuk mendapatkan pupuk kandang yang jumlahnya memang sangat terbatas, mereka harus pergi ke tempat-tempat yang jauh dari lahan pertaniannya sendiri. Dan hal yang demikian sangatlah tidak efektif dan jauh dari efisiensi bagi para petani. Penggunaan pupuk kandang lagi pada akhirnya membutuhkan dana yang malah jauh lebih besar daripada penggunaan pupuk kimiawi.

Sebagian dari Perencanaan
Salah satu di antara usulan perluasan kebijakan pertanian di Amerika Serikat untuk tahun enam puluhan adalah pendidikan dan riset pertanian. Keadaannya memang sangat berbeda antara negeri Paman Sam tersebut dengan Indonesia saat ini. Karena pada tahun lima puluhan Amerika Serikat mengalami surplus hasil pertanian. Namun, pengendalian pemerintah terhadap pihak swasta dalam bidang pertanian semestinya menjadi pertimbangan tersendiri bagi bangsa Indonesia sebagai suatu pembelajaran.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, investasi publik di dalam pendidikan dan riset agrikultural telah menjadi faktor utama pada kenaikan hasil pertanian. Akan menjadi logis untuk mengurangi investasi tersebut dengan kebijakan pengendalian atas produksi pertanian.
Namun, riset bukanlah suatu sumber daya yang siap diatur pada produksi. Bahkan jika riset dihentikan saat ini, teknologi yang baru akan terus mengalir menggantikan riset lama untuk beberapa tahun mendatang. Pada saat penghentian riset mulai berpengaruh, kebutuhan negara mungkin sudah akan berubah.
Di samping itu, meskipun investasi publik merupakan penggerak utama atas kemajuan pesat dalam produktivitas agrikultural, sampai jumlah tertentu kemajuan tersebut sekarang menjadi mandiri melalui industri swasta. Bahan kimia, peralatan pertanian, dan industri penyedia-pertanian lainnya mempunyai kemampuan untuk meneruskan pendidikan dan risetnya sendiri. Memotong investasi publik dalam riset dan pendidikan agrikultural sebanyak setengahnya pun mungkin tidak akan mengurangi masukan dari teknologi baru pada agrikultur.
Fasilitas publik untuk pendidikan dan riset dalam pertanian harus difokuskan secara lebih tajam pada permasalahan kemiskinan pedesaan.
Tugas utamanya adalah memfasilitasi perpindahan masyarakat yang keluar dari bertani menuju pekerjaan produktif di pabrik-pabrik, perdagangan dan jasa. Kadang-kadang hal ini berarti mengembangkan pekerjaan di daerah yang kelebihan tenaga kerja pertanian. Untuk mereka yang tetap tinggal dalam bertani, bantuan teknis, modal dan lebih banyak lahan tetap diperlukan guna menjadikan mereka petani yang produktif.
Dalam hal ini, terdapat pengetahuan yang perlu dipertimbangkan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Pemerintah harus melaksanakan misi untuk menolong masyarakat pertanian ke dalam pekerjaan lain- dengan pinjaman, dana bantuan, penyuluhan, pelatihan kerja dll. Penugasannya saat ini adalah secara keseluruhan menyediakan kredit dan bantuan teknis untuk menolong para petani miskin menjadi lebih produktif dan untuk tetap berada di bidang pertanian. (Soth, “Farm Policy for The Sixties,” hal.218-219).

Sedikit Dampak Sosial
Dampak sosial dari teknologi terhadap masyarakat agraris seperti ketika pertama kalinya diterapkan mekanisasi pertanian di Indonesia yang telah disebutkan oleh Hofsteede adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kebergantungan pemerintah desa terhadap pemerintah provinsi dan nasional.
2. Peningkatan jurang antara keluarga yang strata sosialnya lebih tinggi dan keluarga yang strata sosialnya lebih rendah.
3. Peningkatan orientasi terhadap kota bersamaan dengan peningkatan komersialisasi pada keluarga yang stratanya lebih tinggi.
4. Menumbuhkan ketidakbergantungan keluarga yang strata sosialnya lebih tinggi dari pemerintahan kampung; suatu elit ekonomi baru sedang muncul.
5. Peningkatan kebergantungan strata yang lebih rendah terhadap kota untuk mencari pekerjaan dan memperoleh penghasilan.
6. Peningkatan saling ketergantungan antara semua strata di desa dan kota.
7. Penurunan partisipasi di dalam upacara-upacara masyarakat tradisional, pergaulan dan kegiatan saling menolong merefleksikan perubahan tersebut.
8. Sebuah tren bahwa keluarga menghabiskan sedikit saat ini berkaitan dalam upacara-upacara dan kegiatan keluarga.

Perubahan sosial yang terjadi sekitar dua puluhan tahun silam di Indonesia tersebut, sedikit banyak telah memberikan gambaran umum untuk keadaan teknologi pertanian Indonesia pada saat ini. Namun, tidaklah semestinya dilupakan bahwa sekarang ini sedang terjadi perubahan global di segala bidang termasuk di dalamnya bidang sains dan teknologi yang juga akan berdampak pada keadaan sosial pada masyarakat agraris. Ke arah mana perubahan tersebut adalah pertanyaan yang harus diselesaikan secara bersama-sama oleh seluruh anak bangsa. Pemerintah, ilmuwan, petani, swasta pemilik modal, perusahaan agrikultur sampai para pegawai yang serendah-rendahnya serta seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu memperbaiki kesejahteraan tanah agraris yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia.


Simpulan dan Saran

Simpulan
• Teknologi pada masyarakat agraris mempunyai ciri yang khas dibandingkan dengan masyarakat modern.
• Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan masyarakat agraris merupakan hal yang mendesak dan perlu dilaksanakan dengan segera.
• Dampak sosial dari teknologi terhadap masyarakat agraris tampak secara nyata sampai pada tingkatan keluarga dan individu.
• Pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar di dalam segala kebijakannya terhadap masyarakat agraris.
Saran
• Perubahan sekecil apapun dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus sudah disadari oleh setiap penduduk di dalam masyarakat agraris agar nantinya pada saat memutuskan tindak-lanjut apa yang akan diambil dapat terlaksana secara cepat dan tepat.
• Perhatian pemerintah atas bidang teknologi maupun bidang pertanian harus disikapi dengan arif dan bijaksana dengan pengertian tidak boleh berat sebelah.
• Kesejahteraan dan kearifan lokal masyarakat agraris melalui teknologi sebagai media di antara keduanya harus terus dipertahankan agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan kepada teknologi yang tepat guna.
• Tanpa bermaksud untuk membela kepentingan teknologi di satu sisi, masyarakat agraris seperti di Indonesia sangat membutuhkan teknologi untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi dengan mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang telah ada sejak lama.


Bibliography

Perdue, Peter C. “Technological Determinism in Agrarian Societies.” dalam Does Technology Drive History?: The Dilemma of Technological Determinism, editasi oleh Merritt Roe Smith dan Leo Marx, hal.171. Cambridge, Massachusetts: MIT Press, 1998.
Pursell, Carrol. The Machine in America: A Social History of Technology. Edisi ke-2. Baltimore: The Johns Hopkins University Press:2007.
Hofsteede, W.M.F. “Indonesia.” dalam New Technology and Rural Development: The Social Impact, editasi oleh M.J. Campbell, The Association of Development Research and Training Institutions of Asia and the Pacific (ADIPA) hal.72 dan 110-111. New York: Routledge, 1990.
Soth, Lauren K. “Farm Policy for The Sixties.” dalam Goals for Americans: comprising The Report of the President’s Comission on National Goals and Chapters Submitted for the Consideration of the Commision, hal.218-219. The American Assembly Columbia University, A Spectrum Book, Prentice-Hall, Inc., 1960.
The World Factbooks. https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html. Indonesia. (diakses 23 Juni 2009)



Jalan Bacang, Jatipadang, Jakarta Selatan
29 Juni 2009

0 comments:

Posting Komentar

About

muhadzis
Ever been very fond for outdoor activities, had been desperately in acting practices, had written poems, and had finished degree in medical physics ... today, honestly I just want to be a servant of the most loved by Allah 'Azza wa Jalla. Amen.
Lihat profil lengkapku

Twitter Updates

    follow me on Twitter