Suatu ketika seseorang bersikeras bahwa tidak selayaknya jas hitam dan dasi adalah satu-satunya tujuan di dalam pencapaian kehidupan. Namun, hal tersebut tidaklah serta-merta diterima dengan lapang dada, karena ternyata, memang jas dan dasi tersebut merupakan "measurement tool" atas diri seseorang di dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Setidaknya dengan jas dan dasi, dapat disebutlah seseorang yang dimaksud telah berada sejajar dengan kemajuan zaman dan pergaulan sosial yang lebih tinggi. Sehingga pada gilirannya menimbulkan perasaan senang dan bangga pada orang-orang yang berada di sekitarnya. Kita tidak akan merasa minder jika seseorang yang bersama kita adalah seseorang yang senantiasa mengenakan jas dan dasi sebagai "pakaian kebesarannya" sehari-hari, meskipun kita sendiri adalah masyarakat awam yang berpakaian sederhana saja. Beberapa pasang mata akan dengan mudah terpesona pada kepantasan luar biasa pada diri seseorang yang mengenakan jas hitam dan dasi.
Dengan gaya hidup luar biasa absurd di tengah-tengah masyarakat dunia ketiga yang menghidupi diri sendiri saja amburadul, pakaian jas hitam dan dasi adalah berlian yang sangat sulit dicari apalagi ditemukan. Namun, seperti juga ketidakmerataan pendapatan per kapita di negeri ini, jas dan dasi dapat ditemukan pada kota-kota besar tetapi tidak di desa-desa. Bukan perbincangan tentang pakaian, sebenarnya, jas dan dasi sangat mungkin mengubah pribadi dan karakter seseorang. Bagaimana hal ini dapat terlihat dan tampak begitu kentara adalah bahwa pengenaan jas dan dasi memiliki waktu dan tempat-tempat tertentu. Seperti juga acara-acara seremonial semua tingkatan sosial di dalam sebuah masyarakat, jas dan dasi adalah salah sebuah identitas resmi kaum aristokrat masa kini. Padahal di sisi lain, negeri ini memiliki ciri dan karakter sendiri di dalam membangun pencitraan diri melalui pakaian-pakaian yang lebih elegan tanpa adanya sedikitpun kesan primitif dan feodalisme. Beberapa dari kita mungkin telah merancang dan sedang membuat prototype jas dan dasi dengan cita rasa negeri sendiri. Dengan arahan tidak kehilangan jati diri karena mengenakan pakaian yang datang dari negeri asing, pakaian dan cara berpakaian anak-anak negeri diharapkan menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan mampu bersaing tanpa tergerus nilai-nilai kearifannya sendiri yang telah terbangun semenjak lama.
Telah terlihat dengan jelas dan tak ada lagi kerahasiaan, bahwa orang-orang di kota-kota besar amat sangat rentan pada sebuah ideologi atau pandangan hidup yang secara massif beredar di sana. Rasionalitas dituntut untuk selalu dikedepankan dan segala perhitungan atas waktu menjadi sesuatu yang sangat mutlak dan tak dapat ditawar-tawar lagi. Dan, pakaian semisal jas dan dasi adalah buntut dari rasionalitas yang ditanamkan oleh orang-orang negeri asing selain penanaman modal dan investasi lain tentunya. Sikap permisif terhadap cara berpakaian dikhawatirkan menjadi awal sikap yang permisif tanpa filtering atas gaya hidup yang terbawa melalui pakaian tersebut. Sebab, mengubah ideologi seseorang memang seharusnya dilakukan secara sedikit demi sedikit, kontinu, kemudian memolesnya dengan anggapan bahwa hal tersebut sebagai sebuah kemajuan bersama atas masyarakat dunia yang lebih global. Dan pakaian adalah awal mula yang luar biasa mudah tetapi amat mematikan.
Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan segera adalah: apakah kemajuan dan kesetaraan dengan negeri asing tersebut harus dibayar dengan sikap dan tingkah laku kita yang dulunya begitu arif dan bijaksana, menjadi terlalu permisif dan mengiyakan segala gaya hidup yang jelas-jelas terlihat sangat tidak sesuai dengan pandangan kita selama ini? Entahlah, jawaban tersebut selayaknyalah dijawab dengan tindakan dan perbuatan yang mencerminkan kemandirian seorang anak bangsa yang tidak menginginkan adanya penjajahan lagi, terlebih penjajahan dalam hal ideologi dan pandangan hidup.
Wallahu'alam Wallahulmusta'an.
Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
15 Juli 2009
Dengan gaya hidup luar biasa absurd di tengah-tengah masyarakat dunia ketiga yang menghidupi diri sendiri saja amburadul, pakaian jas hitam dan dasi adalah berlian yang sangat sulit dicari apalagi ditemukan. Namun, seperti juga ketidakmerataan pendapatan per kapita di negeri ini, jas dan dasi dapat ditemukan pada kota-kota besar tetapi tidak di desa-desa. Bukan perbincangan tentang pakaian, sebenarnya, jas dan dasi sangat mungkin mengubah pribadi dan karakter seseorang. Bagaimana hal ini dapat terlihat dan tampak begitu kentara adalah bahwa pengenaan jas dan dasi memiliki waktu dan tempat-tempat tertentu. Seperti juga acara-acara seremonial semua tingkatan sosial di dalam sebuah masyarakat, jas dan dasi adalah salah sebuah identitas resmi kaum aristokrat masa kini. Padahal di sisi lain, negeri ini memiliki ciri dan karakter sendiri di dalam membangun pencitraan diri melalui pakaian-pakaian yang lebih elegan tanpa adanya sedikitpun kesan primitif dan feodalisme. Beberapa dari kita mungkin telah merancang dan sedang membuat prototype jas dan dasi dengan cita rasa negeri sendiri. Dengan arahan tidak kehilangan jati diri karena mengenakan pakaian yang datang dari negeri asing, pakaian dan cara berpakaian anak-anak negeri diharapkan menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan mampu bersaing tanpa tergerus nilai-nilai kearifannya sendiri yang telah terbangun semenjak lama.
Telah terlihat dengan jelas dan tak ada lagi kerahasiaan, bahwa orang-orang di kota-kota besar amat sangat rentan pada sebuah ideologi atau pandangan hidup yang secara massif beredar di sana. Rasionalitas dituntut untuk selalu dikedepankan dan segala perhitungan atas waktu menjadi sesuatu yang sangat mutlak dan tak dapat ditawar-tawar lagi. Dan, pakaian semisal jas dan dasi adalah buntut dari rasionalitas yang ditanamkan oleh orang-orang negeri asing selain penanaman modal dan investasi lain tentunya. Sikap permisif terhadap cara berpakaian dikhawatirkan menjadi awal sikap yang permisif tanpa filtering atas gaya hidup yang terbawa melalui pakaian tersebut. Sebab, mengubah ideologi seseorang memang seharusnya dilakukan secara sedikit demi sedikit, kontinu, kemudian memolesnya dengan anggapan bahwa hal tersebut sebagai sebuah kemajuan bersama atas masyarakat dunia yang lebih global. Dan pakaian adalah awal mula yang luar biasa mudah tetapi amat mematikan.
Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan segera adalah: apakah kemajuan dan kesetaraan dengan negeri asing tersebut harus dibayar dengan sikap dan tingkah laku kita yang dulunya begitu arif dan bijaksana, menjadi terlalu permisif dan mengiyakan segala gaya hidup yang jelas-jelas terlihat sangat tidak sesuai dengan pandangan kita selama ini? Entahlah, jawaban tersebut selayaknyalah dijawab dengan tindakan dan perbuatan yang mencerminkan kemandirian seorang anak bangsa yang tidak menginginkan adanya penjajahan lagi, terlebih penjajahan dalam hal ideologi dan pandangan hidup.
Wallahu'alam Wallahulmusta'an.
Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
15 Juli 2009
0 comments:
Posting Komentar